Senin, 16 Juli 2012

Simpingan Kanan


1. BRAHALA.

Gambar-153: BRAHALA MAKUTAN (HITAM)
 
Gambar-154: BRAHALA RAMBUT TERURAI (PRADA)

Cerita tentang wayang Brahala ini telah dijelaskan pada wayang kelompok simpingan kiri. Adapun bedanya hanya terletak pada sunggingan saja. Kalau Brahala yang di simpingan kiri ditunjukkan Brahala yang muka dan tubuhnya disungging dengan warna putih, atau Brahala yang berambut gimbal (bahasa Jawa) muka disungging warna merah tubuh warna emas/prada, maka Brahala yang di simpingan kanan ditunjukkan yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam dan satu Brahala dengan rambut gimbal/ambur-adul muka dan tubuhnya disungging gemblengan (bahasa Jawa) artinya disungging warna emas/prada.

Adapun tujuan dari cara penyimpingan yang demikian itu dimaksudkan untuk memperoleh keindahan. Karena di simpingan kiri banyak wayang yang mukanya disungging warna merah, maka Brahala yang bermuka warna putih atau merah disimping di kiri. Sedangkan Brahala yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam serta gemblengan disimping di sebelah kanan, mengingat di simpingan kanan banyak wayang yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam atau prada.

Wayang Brahala ini penggunaannya sama dengan Brahala di simpingan kiri, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam satu lakon/cerita harus dikeluarkan lebih dari satu Brahala, misalnya: Brahala Prabu Kresna, Brahala Prabu Yudistira dan Brahala Batara Guru. Khususnya dalam lakon-lakon carangan, mungkin untuk tujuan tambah ramainya pergelaran, apalagi wayang yang disediakan memang lengkap. Brahala yang berwarna hitam tentunya lebih tepat untuk Brahala Prabu Kresna, sedangkan Brahala warna putih tentunya lebih tepat untuk Brahala Prabu Yudistira yang terkenal berdarah putih.

Demikianlah wayang Brahala pada umumnya yang ada di simpingan sebelah kanan yang dapat ditunjukkan di sini. Adapun terjadinya perbedaan penyimpingan, hal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar.


2. TUGUWASESA.

Gambar-155: TUGUWASESA

Tuguwasesa adalah bentuk lain dari tokoh Raden Werkodara pada saat menjadi raja di negara Gilingwesi. Selain itu bisa juga digunakan sebagai tokoh Batara Bayu, mengingat bila tokoh Batara Bayu tidak disediakan dalam satu kotak wayang yang digunakan dalam pergelaran sehingga meminjam tokoh Tuguwasesa. Di desa-desa biasanya satu kotak wayang hanya berisi kurang lebih seratus lima puluh wayang saja dan itu pun wayang-wayang yang disungging dengan menggunakan bahan bron jadi bukan prada. Dari pergelaran-pergelaran yang pernah ada, seorang Dalang yang sudah cukup terkenal terlihat mengeluarkan wayang ini dipakai sebagai tokoh Raden Werkodara saat perang melawan Prabu Duryudana raja Astina di dalam lakon perang Baratayuda. Dalam pergelaran tersebut, diceritakan karena nasehat Sri Batara Kresna Raden Werkodara dianjurkan supaya memakai mahkota seperti Prabu Duryudana. Wayang inilah yang diperlihatkan. Pernah juga seorang Dalang Ki Prawoto Geneng Ngawi menggunakan tokoh ini sebagai tokoh Prabu Jarasanda pada lakon "Sesaji Raja Suya", hal ini dilakukan karena tokoh Prabu Jarasanda memang tidak ada dalam satu kotak wayang yang digunakan dalam pergelaran pada waktu itu.

Tuguwasesa bermata telengan, berhidung dempak, bermulut keketan, kumis dibludri, berjamang tiga susun, bermahkota, bergaruda membelakang, berpraba, bersumping pudak sinumpet, kelat bahu candra kirana, berkalung ulur ulur, berkain poleng, berucal kencana, berkeroncong.


3. RESI RAMABARGAWA.
  Gambar-156: RESI RAMABARGAWA (MEMBAWA BARGAWASTRA)

 Gambar-157: RESI RAMABARGAWA (MEMBAWA WADUNG/KAMPAK)
 Gambar-158: BATARA RAMAPARASU

Dalam cerita Ramabargawa mempunyai umur yang sangat panjang, sehingga dari zaman lakon Arjuna Sasrabahu, Ramayana sampai dengan Baratayuda masih sering dikeluarkan dalam pergelaran. Dalam cerita tokoh ini tidak mati kalau tidak dengan titisan Batara Wisnu. Pada waktu mencari titisan Batara Wisnu Resi Ramabargawa yang disebut juga Resi Ramaparasu atau Jamadagni  bertemu dengan Prabu Arjuna Sasrabahu.  Karena Prabu Arjuna Sasrabahu telah hilang Wisnunya, maka Prabu Arjuna Sasrabahu kalah dan mati melawan Resi Ramaparasu/Jamadagni. Kemudian Resi Ramabargawa melanglang dunia untuk mencari titisan Batara Wisnu dan akhirnya bertemulah dengan Raden Rama Wijaya yang sedang memboyong putri dari negara Mantilireja/Mantilidirja/Mantiliradya setelah menang dalam sayembara yang diadakan oleh raja Mantilireja Prabu Janaka. Dalam pertemuan ini karena Resi Ramabargawa dengan senjatanya yang terkenal Bargawastra dan Kampak selama ini selalu menang, tetapi karena yang dihadapi adalah benar-benar titisan Batara Wisnu yaitu Raden Rama Wijaya maka kalah dan matilah di tangan Raden Rama Wijaya dan selanjutnya menjadi Dewa di Suralaya dengan sebutan Batara Ramaparasu. Batara Ramaparasu akan keluar di pakeliran bersama Batara Narada, Kanwa, dan Janaka dalam lakon Kresna Duta, hanya saja kostumnya tentunya harus seperti Dewa memakai jubah (terkenal dalam sulukan: lengleng gati nikang hawan sabha-sabha niking Hastina, samantara tekeng tegal Kuru nararya Kresna laku, sirang Paracurama Kanwa Janakadulur Narada, kapanggih irikang tegal miluri karyya sang Bhupati), di sini disajikan dua wayang. Di desa-desa wayang ini biasanya tidak dilengkapi, namun biasanya digantikan dengan wayang Bratasena hitam.

Wayang Ramabargawa berhidung dempak, bermata telengan, kumis dan godek dibludri untuk yang hitam, rambut terurai/bodolan sampai di pundak, selalu membawa gendewa atau wadung oleh karena itu sering disebut juga Rama Wadung, muka/tubuhnya disungging warna hitam atau prada dan bercawat untuk yang masih melanglang buana, berbaju dan berkain rapekan Dewa untuk yang sudah menjadi Dewa.


4. BATARA BAYU.

 Gambar-159: BATARA BAYU

Batara Bayu adalah putra keempat Batara Guru dengan Dewi Uma. Batara Bayu disebut juga Batara Pawana, ia adalah Dewa angin dan Dewa kekuatan. Berkedudukan di Kahayangan Swarga Panglawung atau Kahayangan Puserbuwana. Isterinya bernama Dewi Sumi. Batara Bayu berputra: Batara Sumarma, Batara Sangkara, Batara Sadama, dan Batara Bismakara. Di samping keempat putra tersebut, Batara Bayu mempunyai putra-putra angkat yaitu: Raden Werkodara, Maruti/Anoman, Jajahwreka, Gajah Situbanda, Gunung Maenaka dan Naga Kuwera. Oleh karena itu enam putra angkat Batara Bayu ini dapat disebut saudara tunggal Bayu, demikian dalam pedalangan. Batara Bayu dan putra-putra angkat inilah yang ditampilkan dalam akhir pergelaran sebagai tanda penutup yang disebut "tayungan" yaitu menari tanda kemenangan. Dalam lakon zaman Dewa-Dewa tayungan dilakukan oleh Batara Bayu, dalam lakon Ramayana tayungan dilakukan oleh Anoman, dalam lakon Mahabarata tayungan dilakukan oleh Werkodara/Bratasena. Sebagai tanda putra Batara Bayu, Anoman dan Bratasena berkain poleng sebagai tanda memiliki kekuatan angin.

Wayang Batara Bayu berhidung dempak, bermata telengan, kumis dibludri, berjanggut wok, muka disungging warna hitam. Berjamang tiga susun, bermahkota, bergaruda membelakang, bersumping pudak sinumpet. Rambut terurai di pundak, berbaju dan berkalung selendang. Berpontoh candrakirana, bergelang, berkeris terselip di depan, berkain rapekan Dewa disungging poleng sebagai lambang Dewa angin. Berkuku pancanaka, berkeroncong dan bersepatu.

Ada kalanya wayang Batara Bayu ini dipinjamkam wayang Tugu Wasesa, mengingat wayang Batara Bayu dalam perangkat satu kotak wayang yang disediakan tidak dilengkapi dengan wayang ini.
 

5. RADEN WERKODARA.
   Gambar-160: RADEN WERKODARA (HITAM/LINTANG)
 
  Gambar-161: RADEN WERKODARA (HITAM/MIMIS)
 
 Gambar-163: RADEN WERKODARA (JAGONG)
 
 Gambar-164: RADEN WERKODARA (BEDIL)

 Gambar-166: RADEN WERKODARA (KETUG)

Raden Werkodara adalah putra Prabu Pandudewanata raja negara Astina setelah Prabu Kresnadwipayana atau Wiyasa. Ibunya bernama Dewi Kunti/Prita. Ia adalah putra kedua walaupun kelahirannya ke dunia lebih dahulu dari pada Yudistira. Karena waktu lahir berupa bungkus, bungkus tersebut dapat dipecah setelah dihunjam gading Gajahsena. Terlahirlah anak bayi yang kemudian dapat membinasakan Gajahsena sendiri, sehingga sukmanya menyatu dengan anak bayi yang lahir keluar dari bungkus tersebut. Oleh karena itu oleh Batara Narada ia diberi nama Bratasena yang berarti kelahirannya terjadi karena tapa brata dan bantuan Gajahsena. Nama lain dari Werkodara adalah: Bayusuta, Bimangalaga, Pandusiwi, Kusumadilaga, Gandawastraatmaja, Jodipati, Jayalaga, Wijasena.

Raden Werkodara berbusana: 1.Gelung Minangkara Cinandi Rengga, rendah depan tinggi belakang. 2.Pupuk mas reneka jaroting asam. 3.Sumping pundak sinumpet. 4.Anting-anting panunggal maniking warih, 5.Sangsangan naga banda (ular besar). 6.Kelat bahu reneka blibar manggis, binelah hingga kedaganya. 7.Gelang candra kirana. 8.Kampuh poleng bang bintulu adi, merah, hitam, kuning, putih dan hijau maya-maya. 9.Paningset cinde bara binelah numpang betis kanan dan kiri. 10.Porong dapur naga raja sebagai kancing.

Nafas Raden Werkodara: kendel, bandel, kumandel, tetep, mantep, madep, sregep, ajeg, jejeg, kuat dan sentosa, awas dan waspada, taberi, berbudi luhur, dan lahir tembaga batin kencana.

Pada waktu muda tidak bersanggul/gelung tetapi bergaruda membelakang besar rambut terurai di pundak. Wayang tersebut akan ditunjukkan dalam nomor Raden Bratasena. Setelah melalui rintangan-rintangan dan ujian-ujian yang berat antara lain: mencari "kayugung susuhing angin" dan "tirta perwitasari mahening suci" di mana Raden Werkodara harus mengalahkan dua raksasa penjelmaan Batara Indra dan Batara Bayu yang bernama Rukmuka dan Rukmakala di hutan Tribasara di gunung Reksamuka atau Candramuka, harus mencebur Samudra Selatan dan mengalahkan Naga Nabatnawa akhirnya Werkodara dapat berjumpa dengan Dewa Ruci dan diajarkanlah semua ilmu kesempurnaan sejati yang ia cari. Sejak saat itu Werkodara bergelung, tidak bergaruda membelakang lagi.

Dalam perang Baratayuda Werkodara dapat membunuh senopati Korawa antara lain: Jayawikata, Bomawikata, Gardapati, Bogadenta, Dursasana, Sengkuni dan bahkan Prabu Duryudana pun tewas olehhya.

Werkodara bermata telengan, berhidung dempak, bermulut keketan, kumis dibludri, muka di sungging warna hitam, berpupuk di dahi, bersanggul/gelung supit udang disebut minangkara, rambut dada lengan betis semua dibludri, berkuku pancanaka, kain disungging poleng. Sama halnya dengan Batara Bayu, Werkodara dapat digunakan sebagai wayang penutup pakeliran tanda kemenangan yang disebut "Tayungan". Wanda wayang Raden Werkodara ini banyak sekali antara lain: 1.Bambang, 2.Bedil, 3.Bugis, 4.Gandu, 5.Panon, 6.Gurnat, 7.Jagong,  8.Jagor, 9.Kedu, 10.Lintang, 11.Mimis, 12.Ketug, 13.Lindu dan mungkin masih ada yang lain lagi. Yang bermuka dongak biasa disungging hitam seluruh tubuhnya. Di sini ditunjukkan hanya tujuh wayang saja, walaupun wayang koleksi Werkodara ini sebenarnya masih ada yang lain lagi, mengingat  sempitnya ruangan dalam buku ini.

7. BIMA SUCI.
Gambar-168: BIMA SUCI

 Gambar-169: BIMA SUCI (BERBAJU DAN BERKAIN BRAHMANA
            Bima Suci sebenarnya adalah Raden Bima/Bratasena/Werkodara. Setelah bertemu dengan Dewa Ruci di tengah-tengah Samodra Selatan dan memperoleh ajaran ilmu kasampurnanjati, ilmu manunggaling kawula lan Gusti, kemudian mendirikan pertapaan di wilayah Negara Astina yang disebut pertapaan Arga Kelasa. Karena ilmu tersebut sangat mulia bagi kehidupan umat manusia di dunia, maka banyak kaum muda, kaum ksatria dan kaum tua pun yang berkeinginan menyerap ilmu tersebut, termasuk Pendeta Kendalisada Begawan Kapiwara atau yang lebih terkenal disebut Resi Anoman. Mungkin kalau di masa sekarang dapat dipersamakan dengan timbulnya seorang motivator, seorang psikolog atau psikiater, seorang konsultan, yang banyak membantu memecahkan kesulitan-kesulitan hidup di masyarakat.
            Oleh karena pertapaan Arga Kelasa berada di wilayah Negara Astina, maka tidak mengherankan bila Prabu Duryudana raja Astina dalam persidangannya membicarakan perihal keadaan tersebut di atas. Prabu Duryudana sangat resah hatinya, karena banyak para warga negara Astina yang terpengaruh oleh ajaran tersebut di atas, sehingga semua warga akan memihak kepada Sang Bima Suci yang sebenarnya  Raden Bratasena atau Werkodara, salah satu dari Pandawa. Prabu Duryudana khawatir akan jatuh kewibawaannya, semua warganya akan memihak kepada Sang Bima Suci, dan lebih khawatir lagi Negara Astina akan jatuh di bawah kekuasaan Raden Werkodara yang memang sebenarnya berhak atas negara Astina menggantikan ayahanda Prabu Pandudewanata. Maka  diutuslah Adipati Karna dengan membawa prajurit ke Arga Kelasa untuk mengusir Buma Suci dan menghancurkan pertapaannya. Tetapi karena Arga Kelasa dijaga oleh Anoman dan para putra-putra Pandawa, maka utusan tersebut dapat dikalahkannya.
            Kekhawatiran tidak saja terjadi di Arcapada, bahkan di Kahayangan Suralaya, Batara Guru merasa juga kehilangan kewibawaannya, oleh karena itu diutusnya Para Dewa untuk menguji sampai di mana tingkat kebrahmanaan Sang Bima Suci.
            Meskipun bertubi-tubi hambatan yang dialami, Bima Suci tetap mengajarkan ajaran manunggaling kawula lan gusti, termasuk kepada Raden Arjuna adiknya. Prabu Pandudewanata ayahnya dan Dewi Madrim ibu tirinya yang dipersalahkan oleh Para Dewa karena membunuh kijang jelmaan Resi Kinindama dan dimasukkan ke neraka dapat diampuni oleh Dewata dan dinaikkan ke Surga Abadi oleh amal-baik Bima Suci. Demikian pula seorang raja raksasa bernama Prabu Karungkala dapat diruwat sehingga mati sempurna. Akhir cerita Begawan Bima Suci kembali menjadi Raden Werkodara berkumpul kembali dengan para Pandawa di Amarta membangun negara, mensejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyatnya. Cerita ini tentunya tidak ada dalam kitab Mahabarata yang dari India, cerita ini gubahan atau sanggit murni pujangga atau Dalang di Nusantara ini.
            Wayang Bima Suci mirip Raden Werkodara, hanya saja berbaju, berkain, bersampir di pundak dan bersepatu Dewa, memakai keris di depan. Tetapi ditunjukkan juga satu wayang berupa Werkodara hitam. 


8. JIM DANDUNWACANA.

Jim Dandunwacana adalah jin di negeri Mretani atau Amarta, bermukim di Jodipati, bersaudara empat orang yaitu Jim Yudistira merupakan kakak lakinya, jim Suparta/Dananjaya, jim Nakula dan Sadewa merupakan adik laki-lakinya. Negeri Mretani apabila dilihat secara kasat mata merupakaan hutan lebat yang angker, dalam ucapan Dalang disebutkan janma mara janma mati sato mara sato sirna artinya siapa pun yang masuk hutan akan mati termasuk hewan-hewan sekali pun. Namun jika dilihat dari alamnya jin, merupakan negeri yang elok, asri dan indah dari para jin dengan rajanya Jim Yudistira ini. Dalam lakon “Babat Alas Wanawisamarta” Jim Yudistira menyampaikan kepada saudara-saudaranya bahwa ia telah menerima wangsit dari Dewata melalui mimpi (di dunia pewayangan perihal wangsit dalam mimpi sering ditampilkan) bahwa dirinya dan para saudara berempat sudah harus berakhir berkuasa di negeri Mretani dan akan digantikan dari alam jin menjadi alam manusia. Hanya saja Jim Yudistira dan saudara-saudaranya menginginkan manusia yang akan menggantikan seharusnya manusia-manusia yang berwatak satria utama yang bisa menjaga melestarikan keindahan keseimbangan jagad raya ini
            Belum lama Jim Yudistira berbicara dengan saudara-saudaranya, terputus kedatangan Jim Damdarat, jin yang menjadi senapati di negeri Mretani, menayampaikan bahwa keadaan Wanamarta sudah berubah menjadi terang benderang telah dibabat oleh manusia-manusia yang terkenal disebut Pandawa
            Oleh karena itu Jim Yudistira memberitahukan saudara-saudaranya bahwa sudah waktunya mereka berlima harus meninggalkan kejayaan negeri Mretani dan numpang ke surga dengan menjiwa kepada para Pandawa manusia-manusia yang berjiwa satria utama  yang selalu menjaga kedamaian di tribuana. Pada waktu menghadapi para Pandawa Jim Yudistira dan empat saudaranya berpura-pura marah dan terjadi peperangan hingga akhirnya Jim Yudistira menyatu dengan Raden Puntadewa, Jim Dandunwacana menyatu dengan Raden Bratasena, Jim Suparta menyatu dengan Raden Permadi sedangkan Jim Nakula dan Jim Sadewa menyatu dengan Raden Pinten dan Raden Tangsen. Sejak saat itu para Pandawa memiliki nama Yudistira, Dandunwacana, Suparta/Dananjaya, Nakula dan Sadewa
            Wayang Dandunwacana ditunjukkan wajah sama dengan Werkodara hanya bagian bawah dibuat berkain  rapekan. Ini hanya sebuah penafsiran seorang pembuat wayang yang ingin menambahkan jumlah boneka wayang purwa khususnya gaya Surakarta, tentunya bisa saja ada yang menafsirkan lain.



24. BATARA GURU.

 
Gambar-201: BATARA GURU (WANDA RAMA)

Gambar-202: BATARA GURU SEBELUM KENA TULAH BERTANGAN DUA
 
 Gambar-203: BATARA GURU (WANDA KARNA00

 
Gambar-204: BATARA GURU (KREASI BARU/BLAK MUSEUM SENAWANGI/MADURA)
 
Gambar-205: BATARA GURU (WANDA RECA)
 
Gambar-206: BATARA GURU (WANDA RECA TERSOROT MATAHARI DAN SATELIT)

Batara Guru disebut juga Sang Hyang Manikmaya, Jagatpratingkah, Jagatnata, Hutipati, Lengin, Nilakanta, Pramestiguru, Randuwanda, Caturboja, Girinata, Rudra, Dewaraja, Syiwa dan masih banyak nama lainnya. Ia dilahirkan berupa manik bersama-sama  cahaya/Narada,  Teja/Tejamaya/Antaga,  dan maya/Ismaya. Ia memiliki senjata sakti Cis Kalaminta dan Trisula Cundamanik, di samping memiliki aji Pengabaran, Kemayan dan Kawrastawan. Karena kesaktiannya dan ketampanannya, orang tuanya Hyang Tunggal bersabda bahwa kelak akan menguasai Tribuana yaitu Mayapada/dunia kedewataan, Madyapada/dunia kehalusan/alam jin syaitan, Arcapada/dunia fana/dunia manusia di bumi. Tetapi karena ia takabur merasa dirinya tiada cacat dan Hyang Tunggal mengetahuinya, maka Hyang Tunggal bersabda lagi bahwa ia akan mendapatkan cacat berupa belang di leher, lemah di kaki, caling di mulut, dan bertangan empat. Pada waktu Nabi Isa lahir, Manikmaya datang menyaksikan, dilihatnya bayi yang berumur satu bulan belum bisa jalan sebagaimana layaknya Dewa. Hal ini dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak sempurna, seketika itu juga Manikmaya mendapat tulah dan kaki kirinya menjadi lemah. Suatu ketika Manikmaya merasa dahaga, dilihatnya sebuah telaga yang teramat jernih airnya, minumlah ia. Tetapi begitu air yang diteguknya terasa berbisa maka dimuntahkanlah kembali. Pada saat itulah Manikmaya mendapat cacat belang di leher. Karena Manikmaya tidak bisa menahan nafsunya, maka disumpah "seperti raksasa" oleh permaisurinya Dewi Uma. Seketika itu juga bercalinglah Manikmaya. Ketika Hyang Manikmaya melihat orang bersembahyang dengan menyelimutkan bajunya, dia ketawa oleh karena mengira bahwa orang itu bertangan empat. Seketika itu juga tubuh Hyang Manikmaya bertangan empat.

Wayang Batara Guru bermata jaitan, hidung mancung, mulutnya tertutup, tangannya empat dua sedekap dua lagi memegang trisula dan panah. Ia berdiri di atas Lembu Andini.

Beberapa macam wanda dari wayang Batara Guru ini antara lain: 1. Reca, 2.Karna, 3.Rama dan mungkin masih ada yang lain lagi. Oleh karena itu disini ditunjukkan enam macam bentuk wayang Batara Guru. Namun yang jelas terlihat satu wayang yang belum bertangan empat, hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan Barata Guru saat belum mendapatkan tulah dari ayahnya Sang Hyang Tunggal. Wayang Batara Guru ini adalah ciptaan Panembahan Senapati di Mataram dengan sengkalan "Dewa dadi ngecis bumi".  Wayang ini lain dari wayang-wayang lainnya, wayang Batara Guru menghadap orang yang melihatnya, tapi karena wayang kulit adalah satu dimensi saja, maka wayang ini digambarkan mukanya nampak miring.


25. PRABU KRESNA.

  Gambar-207: KRESNA (BOTOH)
 
Gambar-208: KRESNA (SURAK)
 
Gambar-209: PRABU KRESNA (RONDON)
   
Gambar-210: PRABU KRESNA (MANGU)
  
Gambar-211: PRABU KRESNA (JAGONG)
 
 Gambar-212: PRABU KRESNA (MAWUR)
 
Gambar-213: KRESNA (BOTOH PRADAN)
Nama lain dari Prabu Kresna adalah Harimurti, Padmanaba. Sebelum menjadi raja di negara Dwarawati bernama Raden Narayana. Mempunyai beberapa senjata antara lain Cakra sebagai bukti titisan Batara Wisnu Dewa yang berwenang membagi kebahagiaan. Kembang Wijayakusuma yang bisa menghidupkan orang mati bukan takdir. Jika murka Prabu Kresna bisa bertriwikrama berubah menjadi Brahalasewu seperti Batara Wisnu.

Dalam lakon “Kresna Gugah” Brahala yang sedang tidur membawa senjata Cakra diceritakannya, siapa yang dapat membangunkannya akan menang dalam perang Baratayuda. Maka berusahalah pihak Korawa maupun Pandawa, namun pihak Korawa sia-sia belaka karena jiwa Kresna telah meninggalkan badan wadaknya dan naik ke Kahyangan untuk berunding dengan para Dewa perihal perang Baratayuda. Hanya Arjuna saja yang tahu dan bisa menyusul ke Kahyangan. Jiwa Prabu Kresna kembali ke tubuhnya yang berupa Brahala dan terbangunlah ia dari tidurnya. Terbukti juga Pandawa yang menang dalam perang Baratayuda.

Dalam lakon "Kresna Duta". Prabu Kresna murka pada waktu dikeroyok oleh Korawa di Alun-alun Astina. Bertriwikrama menjadi Brahala juga, dan akhirnya diredakan oleh Batara Surya Dewa Matahari.

            Masih banyak lakon-lakon lain yang disanggit oleh para Dalang, umpamanya lakon “Kresna Boyong”. Jalannya pakeliran dapat didengarkan dalam rekaman kaset wayang yang dibawakan oleh seorang Dalang yang sudah cukup terkenal.

Senjatanya yang lain berwujud Sangkala/terompet yang bernama Pancajanya, kaca paesan untuk melihat peristiwa yang sedang terjadi dan akan terjadi. Aji yang dimiliki antara lain Aji Pameling, Aji Pangabaran dan Aji Kawrastawan.

Empat orang permaisurinya antara lain Dewi Jembawati berputra Raden Samba dan Gunadewa (berwujud kera dan ikut kakeknya Jembawan), Dewi Rukmini berputra Saranadewa (berwujud raksasa) dan Partadewa, Dewi Setyaboma berputra Raden Setyaka, Dewi Pertiwi berputra Bambang Suteja dan Dewi Sundari.

Wayang Prabu Kresna yang dikeluarkan waktu sore bermuka agak tunduk disungging warna hitam badan diprada, yang dikeluarkan pada waktu pagi badannya disungging warna hitam. Ini semua tergantung Ki Dalang yang membawakannya. Prabu Kresna berwanda: 1.Gendreh, 2.Rondon, 3.Mawur, 4.Mangu, 5.Botoh, 6.Surak dan 7.Jagong. Di sini ditunjukkan tujuh macam wayang Prabu Kresna,  dengan wanda yang berbeda, yaitu Botoh, Surak, Rondon, Mangu, Jagong dan Mawur.

 
84. GUNUNGAN GAPURAN.

   Gambar-298: GUNUNGAN GAPURAN

 Gambar-299: GUNUNGAN GAPURAN

Gambar-300: GUNUNGAN GAPURAN

  Gambar-301: GUNUNGAN GAPURAN

    
Gambar-302: SUNGGINGAN DI BALIK GUNUNGAN GAPURAN
Wayang Gunungan telah diuraikan di wayang kelompok  simpingan kiri. Untuk di simpingan kiri lazim disimping Gunungan Blombangan atau Gunungan Perempuan, namun di simpingan kanan umumnya disimping Gunungan Laki-laki atau disebut Gunungan Gapuran ini. Adapun kegunaan, persamaan dan perbedaannya satu dengan lainnya dari dua jenis Gunungan tersebut telah disebutkan di akhir simpingan kiri. Oleh karena itu tidak perlu diulang kembali/dapat dibaca pada simpingan kiri.

Dengan ditunjukkannya Gunungan Gapuran ini merupakan akhir dari pembahasan dari kelompok wayang simpingan kanan, selanjutnya akan ditunjukkan wayang kelompok dudahan.

6 komentar:

  1. kurang lengkap nih gambar wayang kulitnya

    BalasHapus
  2. baik buruk cerita jawa wayang udah lengkap dgn sifat manusia d? dunia:: pembelajaran yg sejati

    BalasHapus
  3. Bagaimana caranya saya bisa mendapatkan Buku ayang Kulit Purwo, tolong dipandu.

    BalasHapus
  4. Aku minta gambar yang balik kanan gess

    ko gambarnya hadap ke kiri semua

    BalasHapus