1.
BRAHALA.
Gambar-153: BRAHALA MAKUTAN (HITAM)
Gambar-154: BRAHALA RAMBUT TERURAI (PRADA)
Cerita tentang wayang Brahala ini telah dijelaskan pada wayang kelompok simpingan kiri. Adapun bedanya hanya terletak pada sunggingan saja. Kalau Brahala yang di simpingan kiri ditunjukkan Brahala yang muka dan tubuhnya disungging dengan warna putih, atau Brahala yang berambut gimbal (bahasa Jawa) muka disungging warna merah tubuh warna emas/prada, maka Brahala yang di simpingan kanan ditunjukkan yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam dan satu Brahala dengan rambut gimbal/ambur-adul muka dan tubuhnya disungging gemblengan (bahasa Jawa) artinya disungging warna emas/prada.
Adapun tujuan
dari cara penyimpingan yang demikian itu dimaksudkan untuk memperoleh
keindahan. Karena di simpingan kiri banyak wayang yang mukanya disungging warna
merah, maka Brahala yang bermuka warna putih atau merah disimping di kiri.
Sedangkan Brahala yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam serta
gemblengan disimping di sebelah kanan, mengingat di simpingan kanan banyak
wayang yang muka dan tubuhnya disungging warna hitam atau prada.
Wayang Brahala
ini penggunaannya sama dengan Brahala di simpingan kiri, bahkan tidak menutup
kemungkinan dalam satu lakon/cerita harus dikeluarkan lebih dari satu Brahala,
misalnya: Brahala Prabu Kresna, Brahala Prabu Yudistira dan Brahala Batara
Guru. Khususnya dalam lakon-lakon carangan, mungkin untuk tujuan tambah
ramainya pergelaran, apalagi wayang yang disediakan memang lengkap. Brahala yang
berwarna hitam tentunya lebih tepat untuk Brahala Prabu Kresna, sedangkan
Brahala warna putih tentunya lebih tepat untuk Brahala Prabu Yudistira yang
terkenal berdarah putih.
Demikianlah
wayang Brahala pada umumnya yang ada di simpingan sebelah kanan yang dapat
ditunjukkan di sini. Adapun terjadinya perbedaan penyimpingan, hal yang
demikian merupakan sesuatu yang wajar.
2.
TUGUWASESA.
Gambar-155:
TUGUWASESA
Tuguwasesa adalah bentuk lain dari tokoh Raden Werkodara pada saat menjadi raja di negara Gilingwesi. Selain itu bisa juga digunakan sebagai tokoh Batara Bayu, mengingat bila tokoh Batara Bayu tidak disediakan dalam satu kotak wayang yang digunakan dalam pergelaran sehingga meminjam tokoh Tuguwasesa. Di desa-desa biasanya satu kotak wayang hanya berisi kurang lebih seratus lima puluh wayang saja dan itu pun wayang-wayang yang disungging dengan menggunakan bahan bron jadi bukan prada. Dari pergelaran-pergelaran yang pernah ada, seorang Dalang yang sudah cukup terkenal terlihat mengeluarkan wayang ini dipakai sebagai tokoh Raden Werkodara saat perang melawan Prabu Duryudana raja Astina di dalam lakon perang Baratayuda. Dalam pergelaran tersebut, diceritakan karena nasehat Sri Batara Kresna Raden Werkodara dianjurkan supaya memakai mahkota seperti Prabu Duryudana. Wayang inilah yang diperlihatkan. Pernah juga seorang Dalang Ki Prawoto Geneng Ngawi menggunakan tokoh ini sebagai tokoh Prabu Jarasanda pada lakon "Sesaji Raja Suya", hal ini dilakukan karena tokoh Prabu Jarasanda memang tidak ada dalam satu kotak wayang yang digunakan dalam pergelaran pada waktu itu.
Tuguwasesa bermata telengan, berhidung
dempak, bermulut keketan, kumis dibludri, berjamang tiga susun, bermahkota,
bergaruda membelakang, berpraba, bersumping pudak sinumpet, kelat bahu candra
kirana, berkalung ulur ulur, berkain poleng, berucal kencana, berkeroncong.
3.
RESI RAMABARGAWA.
Gambar-156: RESI
RAMABARGAWA (MEMBAWA BARGAWASTRA)
Gambar-157: RESI
RAMABARGAWA (MEMBAWA WADUNG/KAMPAK)
Gambar-158:
BATARA RAMAPARASU
Dalam cerita Ramabargawa mempunyai umur yang
sangat panjang, sehingga dari zaman lakon Arjuna Sasrabahu, Ramayana sampai
dengan Baratayuda masih sering dikeluarkan dalam pergelaran. Dalam cerita tokoh ini tidak mati kalau tidak dengan
titisan Batara Wisnu. Pada waktu mencari titisan Batara Wisnu Resi Ramabargawa
yang disebut juga Resi Ramaparasu atau Jamadagni bertemu dengan Prabu Arjuna Sasrabahu. Karena Prabu Arjuna Sasrabahu telah hilang
Wisnunya, maka Prabu Arjuna Sasrabahu kalah dan mati melawan Resi
Ramaparasu/Jamadagni. Kemudian Resi Ramabargawa melanglang dunia untuk mencari
titisan Batara Wisnu dan akhirnya bertemulah dengan Raden Rama Wijaya yang
sedang memboyong putri dari negara Mantilireja/Mantilidirja/Mantiliradya
setelah menang dalam sayembara yang diadakan oleh raja Mantilireja Prabu
Janaka. Dalam pertemuan ini karena Resi Ramabargawa dengan senjatanya yang
terkenal Bargawastra dan Kampak selama ini selalu menang, tetapi karena yang
dihadapi adalah benar-benar titisan Batara Wisnu yaitu Raden Rama Wijaya maka
kalah dan matilah di tangan Raden Rama Wijaya dan selanjutnya menjadi Dewa di
Suralaya dengan sebutan Batara Ramaparasu. Batara Ramaparasu akan keluar di
pakeliran bersama Batara Narada, Kanwa, dan Janaka dalam lakon Kresna Duta,
hanya saja kostumnya tentunya harus seperti Dewa memakai jubah (terkenal dalam
sulukan: lengleng gati nikang hawan
sabha-sabha niking Hastina, samantara tekeng tegal Kuru nararya Kresna laku,
sirang Paracurama Kanwa Janakadulur Narada, kapanggih irikang tegal miluri
karyya sang Bhupati), di sini disajikan dua wayang. Di desa-desa wayang ini
biasanya tidak dilengkapi, namun biasanya digantikan dengan wayang Bratasena
hitam.
Wayang
Ramabargawa berhidung dempak, bermata telengan, kumis dan godek dibludri untuk
yang hitam, rambut terurai/bodolan sampai di pundak, selalu membawa gendewa
atau wadung oleh karena itu sering disebut juga Rama Wadung, muka/tubuhnya
disungging warna hitam atau prada dan bercawat untuk yang masih melanglang
buana, berbaju dan berkain rapekan Dewa untuk yang sudah menjadi Dewa.
4. BATARA BAYU.
Gambar-159: BATARA BAYU
Batara Bayu adalah putra keempat Batara Guru dengan Dewi Uma. Batara Bayu disebut juga Batara Pawana, ia adalah Dewa angin dan Dewa kekuatan. Berkedudukan di Kahayangan Swarga Panglawung atau Kahayangan Puserbuwana. Isterinya bernama Dewi Sumi. Batara Bayu berputra: Batara Sumarma, Batara Sangkara, Batara Sadama, dan Batara Bismakara. Di samping keempat putra tersebut, Batara Bayu mempunyai putra-putra angkat yaitu: Raden Werkodara, Maruti/Anoman, Jajahwreka, Gajah Situbanda, Gunung Maenaka dan Naga Kuwera. Oleh karena itu enam putra angkat Batara Bayu ini dapat disebut saudara tunggal Bayu, demikian dalam pedalangan. Batara Bayu dan putra-putra angkat inilah yang ditampilkan dalam akhir pergelaran sebagai tanda penutup yang disebut "tayungan" yaitu menari tanda kemenangan. Dalam lakon zaman Dewa-Dewa tayungan dilakukan oleh Batara Bayu, dalam lakon Ramayana tayungan dilakukan oleh Anoman, dalam lakon Mahabarata tayungan dilakukan oleh Werkodara/Bratasena. Sebagai tanda putra Batara Bayu, Anoman dan Bratasena berkain poleng sebagai tanda memiliki kekuatan angin.
Wayang Batara
Bayu berhidung dempak, bermata telengan, kumis dibludri, berjanggut wok, muka
disungging warna hitam. Berjamang tiga susun, bermahkota, bergaruda membelakang, bersumping pudak
sinumpet. Rambut terurai di pundak, berbaju dan berkalung selendang. Berpontoh
candrakirana, bergelang, berkeris terselip di depan, berkain rapekan Dewa
disungging poleng sebagai lambang Dewa angin. Berkuku pancanaka, berkeroncong
dan bersepatu.
Ada kalanya
wayang Batara Bayu ini dipinjamkam wayang Tugu Wasesa, mengingat wayang Batara
Bayu dalam perangkat satu kotak wayang yang disediakan tidak dilengkapi dengan
wayang ini.
5. RADEN WERKODARA.
Gambar-160:
RADEN WERKODARA (HITAM/LINTANG)
Gambar-161:
RADEN WERKODARA (HITAM/MIMIS)
Gambar-163:
RADEN WERKODARA (JAGONG)
Gambar-164:
RADEN WERKODARA (BEDIL)
Gambar-166:
RADEN WERKODARA (KETUG)
Raden Werkodara
adalah putra Prabu Pandudewanata raja negara Astina setelah Prabu
Kresnadwipayana atau Wiyasa. Ibunya bernama Dewi Kunti/Prita. Ia adalah putra
kedua walaupun kelahirannya ke dunia lebih dahulu dari pada Yudistira. Karena
waktu lahir berupa bungkus, bungkus tersebut dapat dipecah setelah dihunjam gading
Gajahsena. Terlahirlah anak bayi yang kemudian dapat membinasakan Gajahsena
sendiri, sehingga sukmanya menyatu dengan anak bayi yang lahir keluar dari
bungkus tersebut. Oleh karena itu oleh Batara Narada ia diberi nama Bratasena
yang berarti kelahirannya terjadi karena tapa brata dan bantuan Gajahsena. Nama
lain dari Werkodara adalah: Bayusuta, Bimangalaga, Pandusiwi, Kusumadilaga,
Gandawastraatmaja, Jodipati, Jayalaga, Wijasena.
Raden Werkodara
berbusana: 1.Gelung Minangkara Cinandi Rengga, rendah depan tinggi belakang.
2.Pupuk mas reneka jaroting asam. 3.Sumping pundak sinumpet. 4.Anting-anting
panunggal maniking warih, 5.Sangsangan naga banda (ular besar). 6.Kelat bahu
reneka blibar manggis, binelah hingga kedaganya. 7.Gelang candra kirana. 8.Kampuh
poleng bang bintulu adi, merah, hitam, kuning, putih dan hijau maya-maya.
9.Paningset cinde bara binelah numpang betis kanan dan kiri. 10.Porong dapur
naga raja sebagai kancing.
Nafas Raden
Werkodara: kendel, bandel, kumandel, tetep, mantep, madep, sregep, ajeg, jejeg,
kuat dan sentosa, awas dan waspada, taberi, berbudi luhur, dan lahir tembaga
batin kencana.
Pada waktu muda tidak bersanggul/gelung tetapi bergaruda
membelakang besar rambut terurai di pundak. Wayang tersebut akan ditunjukkan
dalam nomor Raden Bratasena. Setelah melalui rintangan-rintangan dan
ujian-ujian yang berat antara lain: mencari "kayugung susuhing angin" dan "tirta perwitasari mahening suci" di mana Raden Werkodara
harus mengalahkan dua raksasa penjelmaan Batara Indra dan Batara Bayu yang
bernama Rukmuka dan Rukmakala di hutan Tribasara di gunung Reksamuka atau
Candramuka, harus mencebur Samudra Selatan dan mengalahkan Naga Nabatnawa
akhirnya Werkodara dapat berjumpa dengan Dewa Ruci dan diajarkanlah semua ilmu
kesempurnaan sejati yang ia cari. Sejak saat itu Werkodara bergelung, tidak
bergaruda membelakang lagi.
Dalam perang
Baratayuda Werkodara dapat membunuh senopati Korawa antara lain: Jayawikata,
Bomawikata, Gardapati, Bogadenta, Dursasana, Sengkuni dan bahkan Prabu
Duryudana pun tewas olehhya.
Werkodara bermata telengan, berhidung dempak, bermulut
keketan, kumis dibludri, muka di sungging warna hitam, berpupuk di dahi,
bersanggul/gelung supit udang disebut minangkara, rambut dada lengan betis
semua dibludri, berkuku pancanaka, kain disungging poleng. Sama halnya dengan
Batara Bayu, Werkodara dapat digunakan sebagai wayang penutup pakeliran tanda
kemenangan yang disebut "Tayungan". Wanda wayang Raden
Werkodara ini banyak sekali antara lain: 1.Bambang, 2.Bedil, 3.Bugis, 4.Gandu,
5.Panon, 6.Gurnat, 7.Jagong, 8.Jagor,
9.Kedu, 10.Lintang, 11.Mimis, 12.Ketug, 13.Lindu dan mungkin masih ada yang
lain lagi. Yang bermuka dongak biasa disungging hitam seluruh tubuhnya. Di sini
ditunjukkan hanya tujuh wayang saja, walaupun wayang koleksi Werkodara ini
sebenarnya masih ada yang lain lagi, mengingat
sempitnya ruangan dalam buku ini.
7.
BIMA SUCI.
Gambar-168:
BIMA SUCI
Gambar-169:
BIMA SUCI (BERBAJU DAN BERKAIN BRAHMANA
Bima
Suci sebenarnya adalah Raden Bima/Bratasena/Werkodara. Setelah bertemu dengan
Dewa Ruci di tengah-tengah Samodra Selatan dan memperoleh ajaran ilmu kasampurnanjati, ilmu manunggaling kawula lan Gusti, kemudian mendirikan pertapaan
di wilayah Negara Astina yang disebut pertapaan Arga Kelasa. Karena ilmu tersebut sangat mulia bagi kehidupan umat
manusia di dunia, maka banyak kaum muda, kaum ksatria dan kaum tua pun yang
berkeinginan menyerap ilmu tersebut, termasuk Pendeta Kendalisada Begawan
Kapiwara atau yang lebih terkenal disebut Resi Anoman. Mungkin kalau di masa
sekarang dapat dipersamakan dengan timbulnya seorang motivator, seorang
psikolog atau psikiater, seorang konsultan, yang banyak membantu memecahkan
kesulitan-kesulitan hidup di masyarakat.
Oleh
karena pertapaan Arga Kelasa berada di wilayah Negara Astina, maka tidak
mengherankan bila Prabu Duryudana raja Astina dalam persidangannya membicarakan
perihal keadaan tersebut di atas. Prabu Duryudana sangat resah hatinya, karena
banyak para warga negara Astina yang terpengaruh oleh ajaran tersebut di atas,
sehingga semua warga akan memihak kepada Sang Bima Suci yang sebenarnya Raden Bratasena atau Werkodara, salah satu
dari Pandawa. Prabu Duryudana khawatir akan jatuh kewibawaannya, semua warganya
akan memihak kepada Sang Bima Suci, dan lebih khawatir lagi Negara Astina akan
jatuh di bawah kekuasaan Raden Werkodara yang memang sebenarnya berhak atas
negara Astina menggantikan ayahanda Prabu Pandudewanata. Maka diutuslah Adipati Karna dengan membawa
prajurit ke Arga Kelasa untuk mengusir Buma Suci dan menghancurkan
pertapaannya. Tetapi karena Arga Kelasa dijaga oleh Anoman dan para putra-putra
Pandawa, maka utusan tersebut dapat dikalahkannya.
Kekhawatiran
tidak saja terjadi di Arcapada, bahkan di Kahayangan Suralaya, Batara Guru
merasa juga kehilangan kewibawaannya, oleh karena itu diutusnya Para Dewa untuk
menguji sampai di mana tingkat kebrahmanaan Sang Bima Suci.
Meskipun
bertubi-tubi hambatan yang dialami, Bima Suci tetap mengajarkan ajaran manunggaling kawula lan gusti, termasuk
kepada Raden Arjuna adiknya. Prabu Pandudewanata ayahnya dan Dewi Madrim ibu
tirinya yang dipersalahkan oleh Para Dewa karena membunuh kijang jelmaan Resi
Kinindama dan dimasukkan ke neraka dapat diampuni oleh Dewata dan dinaikkan ke
Surga Abadi oleh amal-baik Bima Suci. Demikian pula seorang raja raksasa
bernama Prabu Karungkala dapat diruwat sehingga mati sempurna. Akhir cerita
Begawan Bima Suci kembali menjadi Raden Werkodara berkumpul kembali dengan para
Pandawa di Amarta membangun negara, mensejahterakan dan memakmurkan seluruh
rakyatnya. Cerita ini tentunya tidak ada dalam kitab Mahabarata yang dari
India, cerita ini gubahan atau sanggit murni pujangga atau Dalang di Nusantara
ini.
Wayang
Bima Suci mirip Raden Werkodara, hanya saja berbaju, berkain, bersampir di
pundak dan bersepatu Dewa, memakai keris di depan. Tetapi ditunjukkan juga satu
wayang berupa Werkodara hitam.
8.
JIM DANDUNWACANA.
Jim Dandunwacana
adalah jin di negeri Mretani atau Amarta, bermukim di Jodipati, bersaudara
empat orang yaitu Jim Yudistira merupakan kakak lakinya, jim Suparta/Dananjaya,
jim Nakula dan Sadewa merupakan adik laki-lakinya. Negeri Mretani apabila
dilihat secara kasat mata merupakaan hutan lebat yang angker, dalam ucapan
Dalang disebutkan janma mara janma mati
sato mara sato sirna artinya siapa pun yang masuk hutan akan mati termasuk
hewan-hewan sekali pun. Namun jika dilihat dari alamnya jin, merupakan negeri
yang elok, asri dan indah dari para jin dengan rajanya Jim Yudistira ini. Dalam
lakon “Babat Alas Wanawisamarta” Jim Yudistira menyampaikan kepada
saudara-saudaranya bahwa ia telah menerima wangsit dari Dewata melalui mimpi
(di dunia pewayangan perihal wangsit dalam mimpi sering ditampilkan) bahwa
dirinya dan para saudara berempat sudah harus berakhir berkuasa di negeri
Mretani dan akan digantikan dari alam jin menjadi alam manusia. Hanya saja Jim
Yudistira dan saudara-saudaranya menginginkan manusia yang akan menggantikan
seharusnya manusia-manusia yang berwatak satria utama yang bisa menjaga
melestarikan keindahan keseimbangan jagad raya ini
Belum
lama Jim Yudistira berbicara dengan saudara-saudaranya, terputus kedatangan Jim
Damdarat, jin yang menjadi senapati di negeri Mretani, menayampaikan bahwa
keadaan Wanamarta sudah berubah menjadi terang benderang telah dibabat oleh
manusia-manusia yang terkenal disebut Pandawa
Oleh
karena itu Jim Yudistira memberitahukan saudara-saudaranya bahwa sudah waktunya
mereka berlima harus meninggalkan kejayaan negeri Mretani dan numpang ke surga
dengan menjiwa kepada para Pandawa manusia-manusia yang berjiwa satria
utama yang selalu menjaga kedamaian di
tribuana. Pada waktu menghadapi para Pandawa Jim Yudistira dan empat saudaranya
berpura-pura marah dan terjadi peperangan hingga akhirnya Jim Yudistira menyatu
dengan Raden Puntadewa, Jim Dandunwacana menyatu dengan Raden Bratasena, Jim
Suparta menyatu dengan Raden Permadi sedangkan Jim Nakula dan Jim Sadewa
menyatu dengan Raden Pinten dan Raden Tangsen. Sejak saat itu para Pandawa
memiliki nama Yudistira, Dandunwacana, Suparta/Dananjaya, Nakula dan Sadewa
Wayang
Dandunwacana ditunjukkan wajah sama dengan Werkodara hanya bagian bawah dibuat
berkain rapekan. Ini hanya sebuah
penafsiran seorang pembuat wayang yang ingin menambahkan jumlah boneka wayang
purwa khususnya gaya Surakarta, tentunya bisa saja ada yang menafsirkan lain.
24. BATARA GURU.
Gambar-201: BATARA GURU (WANDA RAMA)
Gambar-202: BATARA GURU SEBELUM KENA TULAH BERTANGAN DUA
Gambar-203: BATARA GURU (WANDA KARNA00
Gambar-204: BATARA GURU (KREASI BARU/BLAK MUSEUM
SENAWANGI/MADURA)
Gambar-205: BATARA GURU (WANDA RECA)
Gambar-206: BATARA GURU (WANDA RECA TERSOROT MATAHARI DAN
SATELIT)
Batara Guru disebut juga Sang Hyang Manikmaya,
Jagatpratingkah, Jagatnata, Hutipati, Lengin, Nilakanta, Pramestiguru,
Randuwanda, Caturboja, Girinata, Rudra, Dewaraja, Syiwa dan masih banyak nama
lainnya. Ia dilahirkan berupa
manik bersama-sama cahaya/Narada, Teja/Tejamaya/Antaga, dan maya/Ismaya. Ia memiliki senjata sakti Cis
Kalaminta dan Trisula Cundamanik, di samping memiliki aji
Pengabaran, Kemayan dan Kawrastawan. Karena kesaktiannya dan ketampanannya,
orang tuanya Hyang Tunggal bersabda bahwa kelak akan menguasai Tribuana yaitu
Mayapada/dunia kedewataan, Madyapada/dunia kehalusan/alam jin syaitan,
Arcapada/dunia fana/dunia manusia di bumi. Tetapi karena ia takabur merasa
dirinya tiada cacat dan Hyang Tunggal mengetahuinya, maka Hyang Tunggal bersabda
lagi bahwa ia akan mendapatkan cacat berupa belang di leher, lemah di kaki,
caling di mulut, dan bertangan empat. Pada waktu Nabi Isa lahir, Manikmaya
datang menyaksikan, dilihatnya bayi yang berumur satu bulan belum bisa jalan
sebagaimana layaknya Dewa. Hal ini dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak
sempurna, seketika itu juga Manikmaya mendapat tulah dan kaki kirinya menjadi
lemah. Suatu ketika Manikmaya merasa dahaga, dilihatnya sebuah telaga yang
teramat jernih airnya, minumlah ia. Tetapi begitu air yang diteguknya terasa
berbisa maka dimuntahkanlah kembali. Pada saat itulah Manikmaya mendapat cacat
belang di leher. Karena Manikmaya tidak bisa menahan nafsunya, maka disumpah "seperti raksasa" oleh
permaisurinya Dewi Uma. Seketika itu juga bercalinglah Manikmaya. Ketika Hyang
Manikmaya melihat orang bersembahyang dengan menyelimutkan bajunya, dia ketawa
oleh karena mengira bahwa orang itu bertangan empat. Seketika itu juga tubuh
Hyang Manikmaya bertangan empat.
Wayang Batara Guru bermata jaitan, hidung mancung,
mulutnya tertutup, tangannya empat dua sedekap dua lagi memegang trisula dan
panah. Ia berdiri di atas Lembu Andini.
Beberapa macam wanda dari wayang Batara Guru ini antara
lain: 1. Reca, 2.Karna, 3.Rama dan mungkin masih ada yang lain lagi. Oleh
karena itu disini ditunjukkan enam macam bentuk wayang Batara Guru. Namun yang
jelas terlihat satu wayang yang belum bertangan empat, hal ini dimaksudkan
untuk menunjukkan Barata Guru saat belum mendapatkan tulah dari ayahnya Sang
Hyang Tunggal. Wayang Batara Guru ini adalah ciptaan Panembahan Senapati di
Mataram dengan sengkalan "Dewa dadi ngecis bumi". Wayang ini lain dari wayang-wayang lainnya,
wayang Batara Guru menghadap orang yang melihatnya, tapi karena wayang kulit
adalah satu dimensi saja, maka wayang ini digambarkan mukanya nampak miring.
25. PRABU KRESNA.
Gambar-207: KRESNA (BOTOH)
Gambar-208: KRESNA (SURAK)
Gambar-209: PRABU KRESNA (RONDON)
Gambar-210: PRABU KRESNA (MANGU)
Gambar-211: PRABU KRESNA (JAGONG)
Gambar-212: PRABU KRESNA (MAWUR)
Gambar-213: KRESNA (BOTOH PRADAN)
Nama lain dari Prabu Kresna adalah Harimurti, Padmanaba.
Sebelum menjadi raja di negara Dwarawati bernama Raden Narayana. Mempunyai
beberapa senjata antara lain Cakra sebagai bukti titisan Batara Wisnu Dewa yang
berwenang membagi kebahagiaan. Kembang Wijayakusuma yang bisa menghidupkan
orang mati bukan takdir. Jika murka Prabu Kresna bisa bertriwikrama berubah menjadi
Brahalasewu seperti Batara Wisnu.
Dalam lakon “Kresna Gugah” Brahala yang
sedang tidur membawa senjata Cakra diceritakannya, siapa yang dapat
membangunkannya akan menang dalam perang Baratayuda. Maka berusahalah pihak
Korawa maupun Pandawa, namun pihak Korawa sia-sia belaka karena jiwa Kresna
telah meninggalkan badan wadaknya dan naik ke Kahyangan untuk berunding dengan
para Dewa perihal perang Baratayuda. Hanya Arjuna saja yang tahu dan bisa
menyusul ke Kahyangan. Jiwa Prabu Kresna kembali ke tubuhnya yang berupa
Brahala dan terbangunlah ia dari tidurnya. Terbukti juga Pandawa yang menang
dalam perang Baratayuda.
Dalam lakon "Kresna Duta". Prabu
Kresna murka pada waktu dikeroyok oleh Korawa di Alun-alun Astina.
Bertriwikrama menjadi Brahala juga, dan akhirnya diredakan oleh Batara Surya
Dewa Matahari.
Masih
banyak lakon-lakon lain yang disanggit oleh para Dalang, umpamanya lakon “Kresna
Boyong”. Jalannya pakeliran dapat didengarkan dalam rekaman kaset
wayang yang dibawakan oleh seorang Dalang yang sudah cukup terkenal.
Senjatanya yang lain berwujud Sangkala/terompet yang
bernama Pancajanya, kaca paesan untuk melihat peristiwa yang
sedang terjadi dan akan terjadi. Aji yang dimiliki antara lain Aji Pameling, Aji Pangabaran
dan Aji Kawrastawan.
Empat orang permaisurinya antara lain Dewi Jembawati
berputra Raden Samba dan Gunadewa (berwujud kera dan ikut kakeknya Jembawan),
Dewi Rukmini berputra Saranadewa (berwujud raksasa) dan Partadewa, Dewi
Setyaboma berputra Raden Setyaka, Dewi Pertiwi berputra Bambang Suteja dan Dewi
Sundari.
Wayang Prabu Kresna yang dikeluarkan waktu sore bermuka
agak tunduk disungging warna hitam badan diprada, yang dikeluarkan pada waktu
pagi badannya disungging warna hitam. Ini semua tergantung Ki Dalang yang
membawakannya. Prabu Kresna berwanda: 1.Gendreh, 2.Rondon, 3.Mawur, 4.Mangu,
5.Botoh, 6.Surak dan 7.Jagong. Di sini ditunjukkan tujuh macam wayang Prabu
Kresna, dengan wanda yang berbeda, yaitu
Botoh, Surak, Rondon, Mangu, Jagong dan Mawur.
84. GUNUNGAN GAPURAN.
Gambar-298: GUNUNGAN GAPURAN
Gambar-299: GUNUNGAN GAPURAN
Gambar-300: GUNUNGAN GAPURAN
Gambar-301: GUNUNGAN GAPURAN
Gambar-302: SUNGGINGAN DI BALIK GUNUNGAN GAPURAN
Wayang Gunungan
telah diuraikan di wayang kelompok
simpingan kiri. Untuk di simpingan kiri lazim disimping Gunungan
Blombangan atau Gunungan Perempuan, namun di simpingan kanan umumnya disimping
Gunungan Laki-laki atau disebut Gunungan Gapuran ini. Adapun kegunaan,
persamaan dan perbedaannya satu dengan lainnya dari dua jenis Gunungan tersebut
telah disebutkan di akhir simpingan kiri. Oleh karena itu tidak perlu diulang
kembali/dapat dibaca pada simpingan kiri.
Dengan
ditunjukkannya Gunungan Gapuran ini merupakan akhir dari pembahasan dari
kelompok wayang simpingan kanan, selanjutnya akan ditunjukkan wayang kelompok
dudahan.
kurang lengkap nih gambar wayang kulitnya
BalasHapusbaik buruk cerita jawa wayang udah lengkap dgn sifat manusia d? dunia:: pembelajaran yg sejati
BalasHapusBagaimana caranya saya bisa mendapatkan Buku ayang Kulit Purwo, tolong dipandu.
BalasHapusAku minta gambar yang balik kanan gess
BalasHapusko gambarnya hadap ke kiri semua
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMaturnuwun bapa Suwadi
BalasHapus