Pertunjukan
wayang sampai kini telah berumur lebih dari 3000 tahun, karena timbulnya wayang
pada sekitar 1500 sM, demikian menurut
Ir. Sri Mulyono. Bentuk wayang pada permulaannya tentunya tidak seperti bentuk
wayang yang sekarang ini, maksud saya seperti bentuk wayang yang disajikan
sebagai ilustrasi dalam buku ini. Sudah pasti dimulai dengan yang sangat
sederhana dalam bahan maupun bentuknya, kemudian mengalami perubahan secara
relatif pelan menjadi bentuk wayang yang disajikan dalam buku ini.
Dalam
buku ini tidak dibahas tentang sejarah terjadinya dan perkembangan wayang dari
awal mula hingga yang ada sekarang. Demikian juga tentunya ada wayang-wayang
yang dibuat setelah bentuk wayang yang disajikan di sini. Oleh karena itu bila
para pembaca ada yang berpendapat bahwa wayang-wayang yang disajikan sebagai
ilustrasi buku ini tergolong wayang-wayang lama, tentunya pendapat yang
demikian juga tidak salah. Walaupun sebenarnya wayang-wayang zaman Kartasura,
Mataram, Pajang, dst, dibuat sebelum wayang-wayang ini. Karena sebagai contoh,
dari segi bentuk muncullah "Wayang Ukur" yang diciptakan oleh Sigit
Sukasman pada tahun 1974 di Yogyakarta, saya pernah melihat dan mengamati di
Museum Wayang SENAWANGI Jakarta Kota. Adanya wayang Madya, wayang Wahyu, wayang
Sadat, wayang Suluh, wayang Kancil, wayang Pancasila, dan mungkin masih ada
yang lain lagi, semua ini dibuat pada masa setelah wayang purwa gaya Surakarta
ini ada. Demikian juga saya pernah melihat dan mengamati wayang kulit gaya Surakarta,
tetapi ornamen dalamnya telah ditatah dan disungging secara lebih lembut/halus
tidak seperti ornamen wayang-wayang yang disajikan sebagai ilustrasi buku ini.
Wayang yang demikian itu pernah saya lihat dan amati pada wayang koleksi Prof.
DR. Soedjarwo mantan menteri kehutanan. Wayang tersebut sering dipergunakan pada pergelaran yang sering diadakan di
Jakarta. Berdasarkan bahan yang dipergunakan,
wayang ini adalah wayang kulit, karena dibuat dari kulit kerbau yang
dikeringkan, dikupas/dikerok bulunya, dipotong-potong, ditatah/dipahat dan
disungging/diwarnai. Karena selain kulit kerbau ada wayang yang dibuat dari
bahan kayu, misalnya: wayang krucil, wayang gedog, wayang purwa kayu, wayang
golek cupak, wayang golek pasundan dan sebagainya. Wayang yang dibuat dari kain
disebut wayang beber. Di samping ada wayang yang dibuat dari daun tal, yang
merupakan permulaan wayang dibuat orang, demikian menurut R.M.Sayid. Menurut
kisah yang dikelirkan, wayang-wayang dalam buku ini adalah wayang purwa, yaitu
wayang yang dipergunakan untuk memperkelirkan cerita-cerita dalam Serat Pustakaraja Purwa, Ramayana dan Mahabarata. Karena selain wayang Purwa
ada juga wayang Gedog dan wayang Madya. Wayang Gedog dipergunakan untuk
memperkelirkan cerita Panji. Sedangkan Wayang Madya dipergunakan untuk memperkelirkan cerita setelah wayang purwa,
cerita setelah selesai perang Baratayuda, dari Prabu Parikesit hingga Prabu
Jayabaya di Penjalu/Jenggala. Sehingga cerita dalam wayang madya merupakan
sambungan dari wayang purwa, cerita dalam wayang gedog merupakan sambungan dari
wayang madya. Di samping adanya wayang Menak, wayang Sadat, wayang Pancasila,
wayang Potehi, wayang Suluh, wayang Wahyu, wayang Kancil dan sebagainya yang
memang tidak ada hubungan cerita dengan wayang Purwa ini. Gaya atau gagragnya
adalah Surakarta, karena ada wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, Banyumasan,
Pesisiran, Cirebonan, Betawi, Jawa Timuran, Bali, Sasak, Palembang, Banjar dan
sebagainya. Oleh karena itu, isi buku ini masih membatasi diri hanya dalam
lingkup Wayang Kulit Purwa Gaya
Surakarta.
Pertunjukan wayang sampai saat sekarang masih tetap
mendarah daging, tetap digemari dan dihayati serta dijunjung tinggi oleh masyarakat, karena pertunjukan
wayang itu berisi hal-hal yang masih diperlukan dalam kehidupan manusia. Baik
dalam lapangan keduniaan (lahiriah) maupun dalam lapangan mental (bathiniah).
Demikian menurut Ir. Sri Mulyono. Walaupun pendapat ini sebenarnya
kontroversial, namun rasanya saya cenderung terpengaruh oleh pendapat Ir. Sri
Mulyono tersebut di atas. Kalaupun dewasa ini ternyata sudah jarang ada
pergelaran wayang kulit, kalaupun ada penonton atau penggemarnya sudah jarang.
Hal ini sebenarnya tidak disebabkan oleh karena wayang sudah tidak digemari
masyarakat lagi, tetapi hal ini disebabkan adanya perubahan, perkembangan
pengetahuan dan kualitas masyarakat itu sendiri, sehingga pementasan pergelaran
wayang kulit pun dituntut harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat tadi.
Penonton atau penggemar wayang pada zaman Majapahit tentunya pandangan hidupnya,
keadaannya, kualitasnya berbeda dengan penonton atau penggemar wayang pada zaman Sultan Agung di Mataram. Apalagi
jika dibandingkan dengan penonton atau penggemar wayang pada zaman globalisasi
informasi sekarang ini. Karena menurut pengamatan saya, pergelaran wayang yang
disesuaikan sarana dan tehnik pergelarannya yang meliputi sistem cahaya dan
suara, jumlah wayang yang lengkap dengan kelir dan gawangan yang cukup
artistik, simpingan wayang yang cukup panjang, gamelan lengkap pelog sledro
ditambah bedug tambur terompet dan mungkin instrumen musik lainnya, para nayaga
dan pesiden yang terampil menguasai segala gending dan mungkin lagu-lagu
populer, pergelaran dibawakan oleh Dalang yang kaya akan sanggit dan
kreatifitas, aspiratif dan komunikatif dengan penonton, terampil dalam sabetan
(menggerakkan wayang), ternyata masih membanjir juga penonton atau
penggemarnya. Baik pergelaran itu diadakan di desa-desa maupun di kota-kota,
bahkan di ibu kota Jakarta sekalipun. Menurut pengakuan Ki H.Anom Suroto Lebdo Carito
dalam kaset rekamannya, di luar Jawa pun banyak yang menonton sampai pergelaran
selesai, walaupun mereka mungkin tidak mengerti bahasa Jawa.
Karena dalam pertumbuhannya, fungsi
wayang juga telah mengalami perubahan. Sejak dari fungsi sebagai alat suatu
upacara yang ada hubungannya dengan kepercayaan (magis religius) hingga menjadi
alat pendidikan yang bersifat didaktis dan sebagai alat penerangan lalu menjadi
bentuk kesenian daerah dan kemudian menjadi obyek ilmiah, demikian menurut Ir.
Sri Mulyono. Walaupun dalam pekan wayang Indonesia ke VI tahun 1993 di Jakarta
ada juga pakar yang berpendapat bahwa wayang hanya berhenti sebagai tontonan
saja. Namun demikian saya tetap berkeinginan untuk menunjukkan bentuk-bentuk
tokoh wayang yang saya miliki, yang mungkin paling tidak dapat mengisi sesuatu
yang diperlukan oleh masyarakat pewayangan.
Walaupun banyak buku tentang wayang yang
mengungkapkan filsafatnya, ceritanya,
sejarahnya, seni pedalangannya maupun seni kriyanya, namun masih sedikit yang
menyajikan foto wayang dengan corekan/sket/pola yang dibuat oleh penulisnya
sendiri, khususnya wayang kulit purwa gaya Surakarta ini. Di samping saya
merasa terpengaruh oleh optimisme Ir. Sri Mulyono bahwa wayang akan menjadi
milik jagad hingga orang semesta buana akan mempelajari dan mendalami wayang.
Dengan terselenggarakannya festival gamelan Internasional pada tanggal 29
Desember 1995 di taman wisata candi Prambanan Yogyakarta, kiranya tidak
mustahil fenomena yang sama terjadi pada wayang. Ternyata pada tahun 2003 badan
dunia PBB melalui UNESCO telah memberikan penghargaan kepada Wayang Indonesia
sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of humanity
atau Warisan Budaya Dunia yang luar biasa.
Dari inspirasi inilah timbul keberanian saya dengan segala
keterbatasan saya menyajikan buku ini yang merupakan kumpulan dari apa yang
pernah saya gemari, amati dan pelajari dari sumber-sumber terkait sedari saya
masih anak-anak, walaupun penelitian dan pengamatan langsung pada wayang-wayang
pusaka keraton Mangkunegaran belum pernah saya lakukan. Oleh karena itu saya
sadar bahwa pengetahuan di bidang wayang kulit gaya Surakarta ini masih belum
memadai dibandingkan dengan luasnya pengetahuan wayang kulit yang sebenarnya,
khususnya wayang kulit purwa gaya Surakarta ini. Untuk itu apa yang disajikan
di sini, hanyalah merupakan kesan pribadi saya.
Wayang satu kotak sebenarnya cukup sebanyak lebih kurang
200 saja, tetapi karena adanya wanda wayang yang lebih dari satu, semua tokoh
dibuat sehingga boleh dikatakan tanpa ada tokoh wayang yang dipinjamkan atau
digantikan tokoh wayang lain, maka jumlah tersebut dapat lipat dua kali atau
lebih. Apalagi bila tokoh wayang Korawa seratus benar-benar dibuat, hal
tersebut pernah dinyatakan oleh Ki Manteb Sudharsono dalam pergelaran di museum
Purnabakti TMII. Menurut R.M.Sayit, jumlah wayang Sebet ciptaan Mangkunegara IV, 418 buah.
Walaupun dalam suatu pergelaran yang disediakan seperangkat wayang yang
lengkap, baik tokoh-tokoh wayangnya maupun wandanya, namun masih jarang seorang
Dalang mengeluarkan wayang dengan tokoh yang sebenarnya, apalagi wanda wayang
yang memang cocok dan sesuai dengan kondisi atau suasana jalannya cerita. Yang
saya maksudkan di sini adalah seumpamanya tokoh wayang Batara Bayu ada
janganlah digantikan dengan Tuguwasesa. Seumpamanya tokoh wayang Prabu Parikesit, Sasikirana, Suryakaca,
Jayasumpena, Janurwenda, Sangasanga, Dwara, Arjunapati, Suwarka, disediakan,
janganlah digantikan dengan tokoh wayang baku semacam Prabu Rama Wijaya, Gatotkaca, Antareja, Antasena, Setyaki, Gunawan
Wibisana, Bomanarakasura dan sebagainya. Janganlah menggunakan wayang baku
untuk menggantikan tokoh-tokoh lain. Jangan menggunakan Denawa Patih untuk
tokoh Rukmuka dan Rukmakala dalam lakon ”Dewa Ruci” atau Ditya Wilkataksini
dalam lakon ”Anoman Duta”. Penggantian yang demikian dapat menimbulkan
kekecewaan pada penonton wayang yang benar-benar memahami wayang, di samping
menimbulkan kekeliruan pemahaman bagi penonton wayang yang benar-benar atau
kurang memahami wayang. Karena kekhawatiran inilah mungkin dapat meningkatkan
motivasi kepada diri saya untuk membuat wayang secara lengkap. Namun
keterbatasan dana, waktu, kesempatan dan besarnya/prosentase tanggung jawab
saya terhadap dunia pewayangan sangat menentukan hasil karya saya. Semestinya
keinginan yang demikian akan lebih berhasil apabila dilakukan oleh para Dalang
yang dekat di hati pencinta wayang dan pembuat wayang yang memiliki cukup dana,
serta pemerintah yang tidak kalah pentingnya dalam peran memberikan dorongan dan
pembinaan maupun pemberian subsidi kepada para penatah dan penyungging wayang di
seluruh Indonesia. Begitu juga dalam suasana sedih, gembira, ragu, kaget,
marah, tua, muda, dan lainnya, tentunya tokoh wayang yang dikeluarkan
seharusnya berbeda walaupun namanya satu. Inilah sebenarnya kegunaan dari pada
dibuatnya bermacam-macam wanda. Namun karena para Dalang mungkin cenderung
mementingkan kriteria "cepengan" (bahasa Jawa), artinya
enak dipegang/digerakkan dan mungkin wayang-wayang tersebut milik
pribadi Dalang. Maka perihal pengeluaran tokoh wayang yang benar dalam arti
nama maupun wanda masih banyak diabaikan oleh para Dalang.
Dalam seperangkat satu kotak wayang, menurut letak di
pakeliran dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu "wayang
simpingan" dan "wayang dudahan". Wayang
simpingan disebut juga wayang sumpingan atau wayang panggungan, artinya wayang
yang pada waktu pakeliran diletakkan berjejer pada geber (kelir) ditancap tegak
pada batang pisang di sebelah kiri dan kanan Ki Dalang. Sedangkan wayang dudahan
adalah wayang yang pada waktu pakeliran diletakkan tetap di dalam kotak di
sebelah kiri dan eblek di sebelah kanan Ki Dalang.
Wayang simpingan dibagi menjadi dua yaitu "simpingan
kiri" dan "simpingan
kanan". Wayang-wayang simpingan sebelah kiri banyak didominasi
wayang-wayang yang bermuka disungging warna merah. Berbeda dengan wayang-wayang
simpingan kanan yang banyak didominasi muka warna hitam. Pada simpingan kiri
banyak wayang yang bermulut prengesan atau gusen, gusen bertaring, wayang yang
bermulut ngablak/terbuka/menganga nampak
gigi-gigi dan taringnya. Sedangkan di simpingan kanan tidak terdapat bentuk
mulut yang demikian, sebagian besar "keketan". Demikian juga wayang
simpingan kiri banyak bermata jenis "plelengan", "kedelen",
walaupun ada juga yang bermata
"liyepan"/"gabahan"/"jahitan", sama dengan
simpingan kanan. Lebih khusus lagi di simpingan kanan banyak wayang bermata
"telengan", artinya bentuk mata bulat seperti "plelengan",
tetapi tidak nampak kelopak matanya. Jenis kelamin laki-laki semua, kecuali
Batari Durga, sedangkan beberapa wayang putren (wanita) hanya disimping di
sebelah kanan. Wayang simpingan kiri banyak yang berhidung bentuk "nyantik
palwa"/"haluan perahu", "mungkal gerang" atau
"dempak", sedangkan di simpingan kanan banyak yang berhidung mancung.
Dari sudut karakteristik wayang-wayang yang disimping di sebelah kiri banyak
menunjukkan watak angkara murka, beringas, mudah marah, kurang tahu akan
nilai-nilai kebaikan, tidak segan melanggar nilai-nilai kebaikan, kurang
bertanggung jawab, suka berbalas dendam dan sebagainya. Berbeda dengan
wayang-wayang yang disimping di sebelah kanan banyak menunjukkan tokoh berwatak
berbudi luhur, bijaksana, sabar, bertanggung jawab, sentosa mawas diri, tenang dan
sebagainya. Oleh karena beberapa perbedaan tersebut di ataslah, maka tidak aneh
bila ada beberapa pakar yang menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
pewayangan yang sudah mapan adalah sangat harmoni, sangat hitam putih, sangat
mengkutub. Oleh karena pengelolaan konflik berdasarkan harmoni hanya memadai
dalam kondisi sosial yang ditandai oleh keadilan dan stabilitas. Tetapi tatanan
stabil tradisional yang adil itu tidak ada lagi. Karena itu identifikasi
pewayangan dengan kedok harmoni perlu dibuka. Keberanian, kemandirian dan tanggung
jawab pribadi yang berorientasi pada kejujuran dan keadilan adalah sikap yang
dituntut sekarang. Sehingga dengan demikian apakah nilai-nilai harmoni
pewayangan perlu ditinggalkan dan tidak perlu dilestarikan lagi. Namun perlu
juga ditunjukkan di sini, bahwa masih banyak pula para pakar yang menyatakan
dalam kebenaran hakiki selalu terkandung sisi baik di balik sisi jahat para
tokoh. Tidak ada salahnya belajar melihat sisi baik di balik sisi jahat. Saya
sendiri memiliki keyakinan bahwa timbulnya yang abu-abu itu berkat adanya yang
hitam dan putih tentunya. Memang dalam etika wayang yang sudah mapan, tentunya
masih kita jumpai: "sapa sing tumemen bakal ketemu", "ngunduh
wohing pakarti", "sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti",
"tan hana dharma mangrawa" dan sebagainya. Walaupun dalam kehidupan
nyata, kadang-kadang masih dijumpai nilai-nilai pewayangan dimanfaatkan sebagai
alat untuk mempertahankan dan memperkokoh status quo, sekedar untuk alat orasi
dan retorika, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya kejahatan yang
berslogan kebaikan, kedurhakaan berselubung kesalehan, kezaliman berkedok
kebijakan, kecurangan berdalih kejujuran, penindasan bertopeng belas kasihan,
namun kebenaran hakiki tetap ada. Cepat atau lambat kejahatan tetap kejahatan, kebaikan
tetap kebaikan. Kecurangan dapat disulap menjadi kejujuran sementara, namun
tidak akan dapat disulap menjadi kejujuran selama-lamanya. Dalam kehidupan
nyata, khususnya dalam tatanan masyarakat yang belum adil dan setengah modern
atau mungkin modern, demi memperoleh suatu keuntungan tertentu, seseorang dapat
menyamar atau mengidentitaskan dirinya sebagai Pandawa yang berbudi luhur,
mawas diri, bijaksana, selalu ingin memelihara ketenteraman dunia, tidak
mengumbar segala hawa nafsu, membela dan melindungi kaum lemah dan sebagainya.
Oleh karena itu bukan berarti nilai-nilai pewayangan yang harus dibuka dan
dibongkar. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana identitas Pandawa tersebut jangan
sampai digunakan oleh Korawa. Atau paling tidak penyamaran tersebut cepat
terbongkar, cepat diketahui oleh masyarakat luas. Sehingga kiranya kurang tepat
bila nilai-nilai pewayangan divonis terlampau hitam-putih, sangat harmoni atau
sangat mengkutup. Yang jelas semua ini tergantung bagaimana konteks yang ada.
Memang dalam cerita-cerita Ramayana mungkin masih banyak nampak nilai-nilai
hitam putihnya, namun dalam Mahabarata banyak sekali kebimbangan, keraguan,
keabu-abuan (bukan hitam bukan putih). Kebimbangan nilai-nilai tersebut
tercermin dalam kisah tokoh-tokoh seperti Kumbakarna, Gunawan Wibisana, Adipati
Karna, Puntadewa dalam permainan dadu dan sebagainya.
Sebenarnya saya bukan bermaksud menguraikan wayang kulit
purwa gaya Surakarta ini dengan pendekatan filsafati, khususnya filsafat
tingkah laku atau etika, di mana penuh dengan sisi kontroversial, apalagi bila
diulas oleh seorang yang berada di luar kehidupan penghayatan budaya wayang
yang Jawais, mereka hanya sekedar sebagai pengamat peneliti etika wayang. Dalam
hal ini bukan berarti saya tidak menyukai inovasi dan berniat mengecilkan
peranan para pakar tersebut. Namun karena saya lahir dibesarkan dan dipengaruhi
oleh masyarakat yang berkebudayaan Jawa agraris, kiranya sangat sadar
sedalam-dalamnya bahwa dalam sanubari saya mengalir dengan pekat dan deras
nilai-nilai "tan hana dharma mangrawa", "wong cidra mangsa
langgenga", "sing becik ketitik sing ala ketara", "ngundhuh
wohing pakarti". Sehingga kelicikan Patih Sengkuni untuk memenangkan
Korawa tentunya tidak sama dengan kearifan dan kebijakan Prabu Kresna untuk
memenangkan Pandawa. Saya pandang sangat berbahaya sekali apabila Patih
Sengkuni dan Prabu Kresna, Korawa dan Pandawa, Rahwana dan Arjuna Sasrabahu
atau Rama Wijaya kemudian bergeser menjadi dua kutub yang tidak antagonis.
Kalau pendapat yang demikian terjadi sebenarnya hanya salah pemahaman bagi para
pakar pengamat etika wayang. Apalagi jika obyek-obyek pengamatannya mungkin
kurang akurat dikarenakan pengamatan pada pergelaran dengan Dalang yang kurang
tepat dalam sanggit, sehingga bisa saja terjadi pengubahan atau penggeseran
patokan baku nilai moral. Karena ketatnya persaingan, banyak para Dalang yang
ingin tampil beda sengaja mengubah karakter tokoh tertentu sehingga terlalu
jauh menyimpang dari patokan baku moral wayang. Tokoh-tokoh Pandawa dibuat
berseloroh seperti dagelan atau punakawan, hanya sekedar untuk tampil beda
dengan Dalang-Dalang lainnya, hanya sekedar untuk memperoleh kepopuleran
pribadi pionir perubahan, bukankah tokoh Pandawa ini harus kita tempatkan untuk
melambangkan kejujuran, budi-luhur, bijaksana, membela yang tertindas, hidup
sederhana dan sebagainya. Tokoh Batara Kresna ditempatkan sebagai orang yang
tidak bersih, sebagai tokoh yang disudutkan karena kesalahannya. Bukankah ini
dapat menyinggung kelompok masyarakat yang meyakini bahwa Mahabarata merupakan
tunutunan hidupnya. Kiranya ada benarnya apa yang dikatakan oleh seorang Dalang
dalam rekamannya, bahwa wayang dapat diibaratkan sebagai kawat sampiran (kawat
gantungan). Sehingga dalam pakeliran akan digantungi apa pun bisa, akan
dibebani pesan apa pun boleh, akan dimasuki misi apapun bisa, tergantung pada
kesanggupan dan kemahiran Ki Dalang tentunya. Dengan semakin kontroversialnya,
semakin beragamnya pendapat para pakar, sanubari saya lebih tergugah untuk
melengkapi, menambahkan kepustakaan wayang dalam bentuk kumpulan wayang-wayang
simpingan kiri, kanan dan dudahan ini. Karena analisa dengan pendekatan
filsafat bukan bidang saya, apa pun pendapat para pakar adalah sesuatu yang
saya anggap wajar, efektif atau tidaknya wayang sebagai sarana pendidikan budi
pekerti, perlu atau tidaknya orientasi wayang dibongkar kiranya masyarakat
beserta para pakar dan tokoh pewayangan sendirilah yang dapat menjawabnya.
Anggaplah semua ini merupakan suatu tantangan bagi masyarakat pewayangan yang
perlu segera dijawab dalam arti bebas dari sektarianisme, bila mungkin dalam
arti universal. Namun ada pakar yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat dalam
pewayangan memang harus ada, jadi tidak perlu harus sama. Sebab pengamatan
antar individu bersifat subyektif relatif, tergantung kemampuan, pengalaman,
ketajaman penalaran dan intuisi seseorang. Karena saya mungkin hanya kelompok
kaum mapan yang menjunjung tinggi seni budaya wayang sebagai seni budaya yang
adi luhung. Oleh karena itu saya sadar sedalam-dalamnya bahwa pembahasan atau
analisa masalah "nilai" (termasuk di dalamnya nilai-nilai pewayangan)
sangat berbeda dengan "fakta". Karena "fakta" berbentuk
kenyataan (konkrit), sehingga keberadaannya dapat diuji, karena fakta dapat
ditangkap oleh panca-indera. Sedangkan "nilai" (khususnya nilai-nilai
pewayangan) berbentuk "ide" (abstrak), sehingga eksistensinya tidak
mungkin diuji baik dan buruknya, betul dan salahnya. Melainkan hanya dapat
dihayati. Sedangkan penghayatan atas
sesuatu hanya dapat dicapai dengan cara merenungkan sesuatu itu
sedalam-dalamnya melalui pertimbangan. Yang jelas apabila nilai-nilai
pewayangan masih dapat digunakan sebagai landasan etika moral, tentunya kita
dapat menanyakan pada diri masing-masing, apakah yang kita perbuat di dunia
selama ini sebagai Rahwana, Sengkuni, Durna, Korawa atau Gunawan Wibisana,
Adipati Karna, Kumbakarna, Bambang Sumantri atau Arjuna Sasrabahu, Rama Wijaya,
Kresna, Yudistira atau campuran di antara tokoh-tokoh tersebut.
Dalam buku ini sistematika penyajiannya dimulai dari
wayang dengan ukuran paling tinggi/paling kiri atau paling kanan ke arah yang
paling kecil. Karena dalam pakeliran simpingan diatur demikian rupa berurutan
dari wayang yang berukuran besar tinggi ke dalam ke arah wayang yang terkecil.
Hal ini dilakukan untuk memperoleh keindahan, simpingan yang tidak berurutan
tinggi rendahnya ukuran wayang disebut bejujag (bahasa Jawa). Demikian
sistematika penyajian untuk wayang-wayang simpingan. Untuk wayang-wayang
dudahan akan disajikan secara kelompok demi kelompok, tanpa pertimbangan tinggi
rendahnya dan besar kecilnya wayang. Karena saat pakeliran wayang-wayang
dudahan tetap berada dalam kotak, tidak terlihat oleh penonton, kecuali Ki
Dalang menghendaki demi jejeran/adegan tertentu.
Telah beberapa kali saya sebutkan di atas alasan-alasan
penulisan buku ini, namun secara eksplisit diharapkan buku ini bermanfaat bagi
para peminat, khususnya bagi mereka yang mengetahui cerita wayang, tetapi belum
tahu bentuk dari wayangnya atau mungkin sebaliknya. Di samping dapat mengisi
sela-sela kebutuhan masyarakat pewayangan, mungkin dapat merangsang timbulnya
kreasi-kreasi baru dalam seni kriya wayang. Kalaupun tidak dikatakan
berlebihan, mudah-mudahan buku ini dapat juga membantu melestarikan dalam bentuk
dokumentasi seni budaya wayang kulit purwa yang pernah ada di bumi Nusantara
ini, khususnya wayang kulit purwa gaya Surakarta. Memang banyak cara untuk
mempelajari wayang, namun menurut hemat saya untuk lebih cepat memahami dengan
waktu lebih singkat, biaya relatif ringan, di antaranya masyarakat dapat
mempelajari dalam bentuk tulisan atau buku semacam ini. Istilah-istilah yang
dipergunakan dalam buku ini, khususnya rincian bagian dalam wayang banyak
mengutip istilah-istilah dari buku-buku tentang seni kriya (tatah sungging)
wayang. Oleh karena itu bagi pembaca yang benar-benar awam dalam peristilahan
tersebut, saya anjurkan membaca buku-buku tentang seni kriya (tatah sungging)
wayang. Karena dalam buku ini diusahakan untuk tidak terlampau banyak mengulang
dan mengutip sesuatu yang pernah disajikan dalam buku-buku lain, maka dengan
sengaja tidak dijelaskan di sini. Istilah-istilah yang saya maksudkan antara
lain: rincian dari bagian-bagian wayang, jenis dan bentuk hidung, mulut, mata,
kepala, tangan, badan, kaki, pakaian dan sebagainya.
Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan sebagai
pendahuluan, guna memandu pembaca, sehingga saya harapkan pembaca dapat dengan
mudah memahami isi buku ini.
Contoh gambar2 wayang kulit di sebelah buatan siapa? Kapan? Bagaimana cara memperoleh buku ini? Apa ada di toko2 buku besar? Berapa harganya? Terima kasih. Salam.
BalasHapus