I. WAYANG GOLONGAN DEWA-DEWA.
Wayang-wayang golongan Dewa-Dewa ini dikumpulkan
berdasarkan pengamatan dan pengalaman menonton pergelaran wayang dengan
berbagai cerita/lakon yang pernah ditunjukkan dalam pakeliran oleh para Dalang.
Karena dalam pakem pedalangan pun dianjurkan menggunakan wayang lain, apabila
tokoh wayang yang diinginkan tidak tersedia dalam seperangkat wayang yang
disediakan/ dipergunakan. Sebagai contoh Batara Candra dapat dipinjamkan wayang
Resi Manumayasa atau wayang lainnya. Bahkan pernah terlihat seorang Dalang yang
sudah cukup terkenal menunjukkan Batara Citrarata dan Batara Citrasena dalam
lakon "Sudamala", karena kedua Dewa tersebut kualat
mengintip Batara Guru bersama para Bidadari yang sedang mandi telanjang di
taman Tinjomaya, berubah wujud menjadi dua raksasa. Setelah teruwat oleh Raden
Nakula, yang ditunjukkan sebagai Batara Citrarata dan Batara Citrasena adalah
wayang Raden Seta dan Raden Utara. Pada waktu itu pergelaran diadakan di arena
terbuka "aja dumeh" anjungan Jawa Tengah TMII. Dengan
Dalang yang sama, pernah terlihat dalam siaran pergelaran wayang kulit purwa di
televisi INDOSIAR, Batara Antaboga pernah digantikan dengan wayang Prabu
Basudewa. Penampilan wayang serupa tersebut di atas, pernah terlihat tokoh
Batara Bayu digantikan dengan wayang Tuguwasesa, hal tersebut dilakukan karena
tokoh wayang Batara Bayu memang tidak tersediakan dalam seperangkat wayang yang
dipergunakan. Memang dalam pakeliran tokoh-tokoh wayang yang dalam istilah
modern disebut tidak populer, biasanya wayang yang ditampilkan banyak
dipinjamkan wayang lain atau disebut wayang "srambahan",
termasuk di antaranya tokoh-tokoh wayang golongan Dewa ini. Ada seorang pakar
seni kriya wayang kulit purwa yang berpendapat bahwa seorang Dalang baginya
yang lebih penting adalah kriteria "cepengannya" (enak
dipegang). Oleh karena itu tidak mengherankan, walaupun tokoh wayang yang
semestinya ada dalam seperangkat wayang yang disediakan, namun digantikan
dengan tokoh wayang lainnya yang mungkin sudah terbiasa dipegangnya (wayang
milik pribadi Dalang) hingga enak dimainkannya di kelir. Apalagi ajakan untuk
membiasakan mengeluarkan/menunjukkan wayang dengan wanda yang sesuai dengan
lakon yang dikelirkan, suasana dalam pakeliran (sedih, gembira, ragu, kaget,
marah, tua, muda dan sebagainya), kiranya hal tersebut perlu sering
didiskusikan dalam sarasehan-sarasehan formal pewayangan/pedalangan.
Wayang-wayang yang termasuk golongan Dewa ini sebenarnya
banyak juga jumlahnya. Kiranya sama juga dengan wayang-wayang golongan Korawa
yang telah jelas berjumlah 100 tokoh. Bagaimanapun kesungguhan seseorang
mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan wayang-wayang golongan Dewa ini,
pembuatan wayang memerlukan waktu belasan tahun, namun nampaknya tidak mungkin
semua wayang golongan Dewa-Dewa dapat dibuat seluruhnya. Baiklah untuk berikut
ini akan dimulai menunjukkan satu demi satu wayang golongan Dewa-Dewa yang
telah dibuat berdasarkan pengamatan pada pergelaran-pergelaran yang pernah ada,
di samping referensi buku-buku pewayangan. Wayang golongan Dewa ini dalam pedalangan
ataupun cerita memiliki umur yang sangat panjang, tidak akan mengalami
kematian, walaupun dapat merasakan sakit. Hal tersebut dikarenakan para Dewa
pernah ditetesi air penghidupan dari sendang di gunung Mandara oleh Batara
Guru..
1. BATARA SAMBO.
Gambar-303: BATARA SAMBO
Dalam lakon "Jagat
Ginelar", Batara Sambo adalah putra pertama Batara Guru dengan
Batari Uma. Saudara-saudara seibu seayah lainnya adalah: 1.Batara Brama,
2.Batara Indra, 3.Batara Bayu, dan 4.Batara Wisnu. Batara Sambo bersemayam di
Kahayangan Hargadaksina/Swargadaksina atau Kahayangan Swelagringging,
permaisurinya bernama Batari Siwagnyana dan Batari Astuti.
Dalam Ensiklopedi
diceritakan Batara Sambo pernah menjadi raja di negara Medangprawa dengan gelar
Sri Maharaja Maldewa. Patihnya bernama Resi Acakelasa. Batara Sambo berwatak jujur,
dapat dipercaya.
Bentuk wayangnya
berhidung dempak, bermata telengan, berjanggut wok, berjamang dua susun,
bersurban, muka disungging warna prada/emas, bersumping surengpati, bersampir
selendang, berkeris di depan, berjubah dan bersepatu.
Dalam jejer
pertama negara Astina, Ki Dalang dalam menceritakan keagungan raja Astina Prabu
Duryudana, sering diibaratkan sebagai Batara Sambo yang mengejawantah.
2. BATARA BRAMA.
Gambar-304: BATARA BRAMA
Batara Brama
adalah putra kedua Batara Guru dengan permaisuri Dewi Uma. Batara Brama
berkedudukan di Kahayangan Hargadahana atau Swargadahana. Beristrikan tiga
orang Bidadari yaitu: Dewi Suci/Wasi, Dewi Saraswati dan Dewi Rarasati. Batara
Brama dalam pedalangan diceritakan sebagai Dewa api. Karena itu Batara Brama
dapat membasmi segala keburukan/kejahatan dengan kesaktiannya mengeluarkan api.
Kerap sekali diutus Batara Guru untuk memberikan pahala/anugerah kepada para
insan di arcapada yang berjasa terhadap Kahayangan Suralaya maupun berjasa
menciptakan/menjaga kedamaian dunia/memayu hayuning bawana (bahasa Jawa). Pada
waktu Raden Kakrasana bertapa di Argasunya diberikannyalah senjata Nenggala dan
Alugara. Dalam lakon "Wisanggeni Lahir", Batara Brama
pernah memisahkan atau menceraikan putrinya yang bernama Dewi Drestanala dengan
suaminya Raden Arjuna, atas perintah Batara Guru yang telah dipengaruhi Batari
Durga. Dewi Drestanala sempat dipaksa dibawa oleh Batari Durga untuk dikawinkan
dengan Dewasrani putranya raja Tunggulmalaya. Karena paksaan tersebut
terlahirlah bayi yang dikandung oleh Dewi Drestanala hasil perkawinannya dengan
Raden Arjuna yang bernama Wisanggeni.
Dari keturunan
Batara Brama inilah kemudian menurunkan raja-raja di negara Astina, Amarta, Mandura,
Wirata dsb. Bahkan raja-raja Lokapala, Alengka, Maespati dan Ayodya pun masih
ada kaitan keturunan Batara Brama.
Batara Brama
adalah seorang Dewa panglima perang yang ulung, ia mudah sekali marah, tidak
disangsikan lagi keberaniannya mengenyahkan semua musuh-musuh yang menyerang
Suralaya. Untuk itu ajian kesaktian api dikeluarkannya pada waktu marah
mengeyahkan musuh-musuh Suralaya.
Wayang Batara
Brama bermata kedelen, berhidung lancip sembada, berjanggut wok, muka dongak
disungging warna merah, menunjukkan watak yang mudah sekali marah/brangasan
(bahasa Jawa), berjamang tiga susun, bermahkota, bergaruda membelakang,
berambut terurai di pundak, berbaju lengan panjang warna merah (lambang Dewa
Api), berkeris terselip di depan, berkain rapekan Dewa, berkelat bahu,
bergelang, berkerocong dan bersepatu. Namun pernah terlihat ada juga yang
membuat wayang Batara Brama bersurban dan berjubah, tidak seperti yang
ditunjukkan di sini. Wayang yang demikian ini mungkin yang disebut wayang
kasepuhan.
3. BATARA BASUKI.
Gambar-305: BATARA BASUKI
Dalam pakeliran sangat jarang ditampilkan wayang Batara
Basuki, ia adalah Dewa keselamatan dan berwujud sebagai ular putih. Batara
Basuki menjelma kepada ksatria yang berjiwa selamat/basuki yaitu raja Mandura,
Prabu Baladewa yang berkulit putih, sebagai lambang kesucian atau keselamatan,
terlepas dan terluput dari segala keburukan dan kesalahan. Sehingga pada masa
tuanya Prabu Baladewa terhindar dari pertikaian keluarga yang berperang dalam
Baratayuda. Terkenal dalam janturan
(bahasa Jawa) atau penuturan seorang Dalang pada waktu jejer Prabu Baladewa
diibaratkan sebagai Batara Basuki mengeja wantah.
Setelah keturunan Yadawa lenyap dan Prabu Baladewa akan
meninggal, Batara Basuki keluar dari tubuh Kakrasana melalui mulutnya dijemput
oleh para naga, diantaranya Naga Taksaka, Kumuda, Mandarika, Hreda, Durmuka,
Prawedi dan lain-lain kembali ke patala. Hal ini terdapat dalam ”Mosala
Parwa”, di kitab Mahabarata.
Bentuk wayang wajah mirip Prabu Baladewa hidung mancung,
mata kedelen, muka warna merah, bermahkota, rambut terurai dan berselendang di
pundak, berbaju merah, berkain rapekan Dewa. Jika wayang Batara Brama tidak ada
dapat menggunakan wayang Batara Basuki ini. Bahkan dalam kenyataan
pergelaran-pergelaran yang pernah ada yang dipergunakan sebagai Batara Brama
juga wayang Batara Basuki ini.
4.
BATARA DANISWARA.
Gambar-306:
BATARA DANISWARA
Batara Daniswara
sebenarnya adalah Prabu Danaraja atau Danapati raja Lokapala setelah negerinya
diserang oleh adik tunggal ayah lain ibu, yaitu raja Alengka yang terkenal
bernama Prabu Dasamuka atau Rahwana, kemudian diangkat oleh kakeknya Begawan
Padma ayah Begawan Wisrawa yang telah menjadi Dewa di Kahayangan Suralaya, atas
perkenan Batara Indra,
Serangan Rahwana ke Lokapala ini
diawali dari peringatan Prabu Danaraja melalui suratnya yang disampaikan oleh
Patih andalan negeri Lokapala yang bernama Ditya Gohmuka. Karena Rahwana baru
saja memperoleh ajian Pancasona dari Resi Subali, di mana walaupun satu hari
mati seribu kali dengan ajian Pacasona tetap akan hidup kembali. Di dunia ini
hanya Resi Subali dan Rahwana saja yang memiliki ajian Pancasona ini. Oleh
karena itu Rahwana menjadi semakin menggila nafsu angkara murkanya. Setelah
meninggalnya Dewi Sukasalya yang diberikan oleh Dasarata dari Dandaka, Rahwana
menuntut balik kepada Dasarata. Namun dijelaskannya oleh Dasarata bahwa mati
hidup manusia ini Dewa di Suralaya yang menentukan. Rahwana menjadi marah dan
mempersiapkan bala tentaranya untuk menyerang Para Dewa di Suralaya. Mendengar
rencana penyerangan Rahwana ke Suralaya, maka Prabu Danaraja mengingatkan
jangan sampai menyerang Kahayangan Suralaya dan Rahwana agar menghormati Para
Dewa di Suralaya.
Karena surat peringatan Prabu
Danaraja, maka penyerangan berubah dari Kahayangan Suralaya pindah ke negeri
Lokapala. Sehingga pertempuran sangat hebat, karena banyak sekali korban yang
diderita oleh prajurit Lokapala. Patih andalan Lokapala Ditya Gohmuka
terpenggal melenting kepalanya oleh pedang Mintawa Rahwana, Patih Banendra
bersama-sama prajurit-prajurit pahlawan Lokapala lainnya: Citracapa, Citrajaya,
Citrayuda terbunuh semua oleh Rahwana.
Prabu Danaraja sangat prihatin atas
serangan adiknya ini, akan tetapi kemudian teringat akan kata-kata Batara
Narada ketika ia akan membunuh ayahnya, bahwa karena perbuatan itu kelak
Lokapala akan dihancurkan oleh saudaranya sendiri. Karena para prajurit, para
patihnya telah terbunuh semua maka Prabu Danaraja maju ke medan perang
menghadapi Rahwana. Pertempuran keduanya sangat seru, Prabu Danaraja terkenal
raja yang sangat sakti dan menguasai olah perang, demikian pula Rahwana
memiliki ajian Pancasona. Namun dengan kecepatan kilat Rahwana dapat menghantam
kepala Danaraja hingga hancur dan berhamburan darah. negara Lokapala diserahkan
kepada Rahwana, Danaraja diangkat ke Indraloka menjadi Dewa yang dikenal
sebagai Batara Daniswara yang bertugas menjaga kembang Dewaretna.
Kisah Batara Daniswara dan adiknya
Rahwana rupanya tidak putus disini, pada waktu Rahwana datang di Indraloka
melihat kembang Dewaretna yang berkasiat
dapat menghidupkan kembali semua orang yang telah meninggal, ia ingin meminta
kembang tersebut. Kembang tidak diberikan, tetapi dengan secara paksa kembang
tersebut dibawa lari ke Alengka dan diserahkan kepada Patih Prahasta untuk
menjaganya. Tetapi berkat bantuan seekor kera pujaan dari kumbang penunggunya
yang bernama Kapi Pramuja, maka kembang tersebut dapat diambil kembali dari
Alengka dibawa ke Kahayangan Indraloka. Percakapan antara Batara Daniswara
dengan Rahwana ini sangat banyak mengandung kajian ajaran kebaikan, tentunya
sangat tergantung pada sanggit Ki Dalang yang pasti.
Wayang Batara Daniswara ini dibuat
berdasarkan penafsiran belaka, apakah wayang Batara Daniswara telah dibuat
orang tidak seperti ini, tentunya mungkin saja terjadi. Pernah terlihat dalam
suatu pergelaran dengan lakon “Kembang Dewaretna”, karena wayang
Batara Daniswara tidak ada dalam kotak, maka sebagai penggantinya dikeluarkan
wayang Gandamana. Maka dalam kerangka rasa ingin melengkapi jumlah wayang gaya
Surakarta ini, disini dibuat Batara
Daniswara seperti ini. Hidung dempak, mata telengan, muka disungging warna
prada, bermahkota, berpraba, memakai baju dewa, berkain rapekan dewa dan bersepatu.
5. BATARA KUWERA
Gambar-307: Batara Kuwera
Batara Kuwera bersemayam
di Kahayangan Gudapada, adalah putra ketiga Batara Ismaya dengan Dewi Senggani.
Putra Batara Ismaya yang lainnya adalah: Batara Wungkuan, Batara Tamboro,
Batara Wrahaspati, Batara Siwah, Batara Surya, Batara Candra, Batara
Yamadipati, Batara Kamajaya dan Dewi Darmanasti. Batara Kuwera menikah dengan
Dewi Sumarekti, putri Batara Caturkanaka dengan Dewi Hira. Namun ada juga
sumber yang menyatakan bahwa Batara Kuwera juga Batara Daniswara atau Danapati
atau Danaraja raja Lokapala yang telah gugur melawan Rahwana raja Alengka
adiknya tunggal ayah, kemudian oleh Batara Guru diangkat sebagai Dewa yang
bertugas menjaga kembang Dewaretna. Dalam pewayangan sangat sering terjadi
perbedaan cerita, walaupun nama sama, karena banyaknya sanggit dan gubahan yang
dibuat oleh para penutur cerita wayang dan para Dalang.
Batara Kuwera adalah
lambang kesejahteraan dan kemanusiaan. Ia bertugas memberi petunjuk, fatwa, pahala, perlindungan dan pertolongan
kepada manusia di arcapada. Oleh karena itu tidak aneh jika dalam pedalangan
Batara Kuwera disebut juga sebagai Dewa
Kekayaan. Selain sebagai seorang Dewa yang kaya, Batara Kuwera juga seorang
arsitek yang hebat. Keraton Amarta yang dibangun di bekas hutan Mretani nampak
sangat indah sekali berkat bantuan Batara Kuwera. Lantainya mengkilap, sehingga
pada waktu Prabu Duryudana berkunjung ke Amarta waktu Sesaji Rajasuya selesai, tidak sadar diangkat kainnya tinggi-tinggi
khawatir basah. Sebaliknya ketika benar-benar ada kolam disangka lantai
sehingga terjebur basah kuyup sehingga disoraki para raja seratus negara. Dari
sini timbul rasa malu, dendam dan iri hati Prabu Duryudana terhadap negara
Amarta, yang akhirnya mengundang bermain dadu, sehingga karena kelicikan Patih
Sengkuni Pandawa kalah dan harus meninggalkan Amarta dan akhirnya timbul perang
besar yang disebut Baratayuda.
Dalam lakon ”Pandawa
Matirta”, karena Pandawa kalah main dadu maka harus meninggalkan negeri
Amarta. Untuk memperoleh kemuliaan dan kesejahteraan kembali Dewi Drupadi
permaesuri Prabu Puntadewa memohon Kembang
Tunjung Sugandika sebagai syaratnya. Maka Raden Bratasena diutus untuk
mengupayakan kembang tersebut, namun tidak diketahui di mana kembang tersebut
berada. Dalam perjalanan bertemu dengan Anoman yang sedang bertapa di hutan di
tengah jalan memohon kepada Dewa untuk dapat dipertemukan dengan saudaranya
tunggal Bayu yaitu Raden Bratasena. Oleh karena itu sangat kebenaran sekali,
Anoman dapat menjumpai saudara tunggal Bayunya dan diberitahukannya kepada
Raden Bratasena bahwa Kembang Tunjung
Sugandika adanya di Taman Andana
di Kahayangan Gudapada tempat
bersemayam Batara Kuwera. Sesampainya di Taman Andana Raden Bratasena berjumpa
dengan penunggunya dua orang raksasa Ditya
Wirupaksa dan Ditya Wirakampana.
Karena kembang tidak diberikannya maka terjadi perkelaian sehingga kedua raksasa dapat dikalahkan
dipijak kedua lehernya tidak dapat bergerak lagi. Batara Kuwera melihat keadaan
ini, maka dilerai perkelaian tersebut, supaya kedua raksasa abdi penunggu taman
dilepas. Dijelaskannya bahwa
kembang tersebut memang disediakan untuk Raden Bratasena, namun karena kedua
raksasa tersebut tidak mengetahui bahwa Raden Bratasena itu juga Raden
Werkodara, maka terjadi perkelaian.
Bentuk wayang Batara
Kuwera, berhidung dempak, bermata telengan, bertopong, berpraba, bersampir,
berkeris di depan, berbaju, bersepatu dan berkain rapekan Dewa, wayang ini
termasuk wayang gagahan. Tetapi
ada juga yang menafsirkan berhidung lacip seperti Batara Indra, bahkan ada yang
menafsirkan Batara Kuwera itu juga Batara Wisrawa. Adanya perbedaan penafsiran
dalam pewayangan seperti ini adalah sangat lumrah, apalagi bagi wayang-wayang
yang kurang populer atau jarang sekali keluar dalam pakeliran.
10. BATARA CANDRA.
Gambar-313: BATARA CANDRA
Batara Candra adalah Dewa Bulan, putra Batara Ismaya
dengan Dewi Senggani, putri Sangyang Wening. Ia bertugas menerangi Arcapada
pada waktu malam hari, bergiliran dengan Batara Surya kakaknya, yang bertugas
pada siang hari. Dalam menerangi dunia, Batara Candra bersama-sama dengan
Batara Kartika memberikan sinar kesejukan pada perasaan dan pandangan makluk di
bumi pada waktu malam hari.
Batara Candra mengetahui dimana Ditya Rembuculung
bersembunyi pada waktu malam hari, setelah mencuri air penghidupan (banyu
panguripan) dan memberitahukan kepada Dewata yang akhirnya Ditya Rembuculung
dapat dipenggal lehernya dengan senjata cakra oleh Batara Wisnu. Badannya jatuh
di bumi dan berubah menjadi lesung tempat menumbuk padi, sedangkan kepalanya
terus mengembara hidup di angkasa karena telah minum air penghidupan serta
mengancam akan menelan Batara Candra dan Batara Surya pada setiap waktu. Pada
saat Batara Candra atau Surya termakan oleh Ditya Rembuculung, dunia menjadi gelap,
keadaan yang demikian disebut gerhana bulan atau matahari. Untuk supaya
keduanya segera terlepas dari mulut Rembuculung sehingga bumi menjadi terang
kembali, maka pada zaman dulu di Pulau Jawa ada adat memukul lesung jika
terjadi gerhana. Tentunya untuk masa sekarang kebiasaan yang demikian sudah
tidak relevan lagi.
Bentuk wayang Batara Candra, muka dongak, berhidung
lancip, mata gabahan, bertopong, bersampir dipundak, berbaju, berkain rapekan
sebagaimana umumnya Dewa dan bersepatu. Wayang ini sama dengan wayang-wayang
yang kurang terkenal lainnya, jarang dibuat atau ada dalam seperangkat wayang
yang disediakan dalam suatu pergelaran.
11. BATARA CITRASENA DAN CITRAGADA.
Gambar-314: BATARA CITRASENA
Gambar-315: BATARA CITRAGADA
Batara Citrasena dan Citragada nampak di pakeliran dalam
lakon ”Sudamala”. Dimana kedua Dewa kembar penjaga Kahayangan
Tinjomaya ini dikisahkan menerima pidana berubah rupa menjadi dua raksasa
karena dipersalahkan mengintip Batara Guru yang sedang mandi di sendang bersama
para Bidadari. Kedua raksasa itu bernama Ditya Kalanjaya dan Ditya Kalantaka.
Untuk dapat diruwat pulih kembali mejadi Dewa, kedua raksasa ini datang ke negara
Astina menemui Begawan Durna seorang Pendeta yang sangat terkenal
menguasai segala macam ilmu pengetahuan.
Begawan Durna sanggup meruwat tetapi dengan syarat kedua raksasa tersebut dapat
menyajikan panggang manusia lima bersaudara laki-laki semua. Lima saudara
laki-laki semua adalah para Pandawa, ini merupakan siasat Korawa untuk
menghancurkan Pandawa sebelum perang Baratayuda terjadi.
Dalam perjalanan mencari panggang manusia tersebut, Ditya
Kalanjaya dan Kalantaka bertemu dengan pendeta Parangalas yang bernama Begawan
Tambrapeta dan kedua putrinya Dewi Soka dan Padapa yang sedang mencari Raden
Nakula dan Sadewa. Dilihatnya ada dua wanita yang cantik-cantik, maka kedua
raksasa tersebut mengejarnya. Dalam pengejaran ini mereka berjumpa dengan Raden
Nakula dan Sahdewa, sehingga kedua raksasa ini dapat dikalahkan dengan diadu
dibenturkan kedua kepala mereka hingga tewas. Tewasnya kedua raksasa ini
berubah menjadi Batara Citrasena dan Batara Citragada. Atas jasa meruwat kedua
raksasa ini dan memang kehendak kedua putri tersebut Dewi Soka menjadi istri
Raden Nakula dan Dewi Padapa menjadi istri Raden Sadewa.
Bentuk wayang Batara Citrasena dan Citragada, hidung lancip,
mata kedelen, muka disungging warna merah, bergelung kadal menek, memakai
(sampir, baju, sepatu dan kain rapekan Dewa). Jika wayang ini tidak ada dalam
satu kotak wayang yang disediakan bisa saja menggunakan wayang Raden Utara dan
Wratsangka. Penafsiran ini dilakukan tiada lain
terkecuali ingin menambahkan jumlah wayang yang ada khususnya Gaya
Surakarta ini. Benar dan salahnya terbalik pada para Dalang dan pencinta
wayang.
14. BATARA ANTABOGA.
Gambar-319: BATARA ANTABOGA
Batara Antaboga
adalah Dewa bumi lapis yang ketujuh, terkenal sebagai Dewa Ular. Kahayangannya
disebut Saptapratala. Ia adalah anak keturunan Sanghyang Wenang. Beristerikan
Dewi Supreti dan berputra tiga orang yaitu Dewi Pratiwi atau Pertiwi, Dewi
Nagagini dan Bambang Nagatatmala. Dewi Pratiwi menjadi isteri Batara Wisnu,
karena Batara Wisnu telah menitis pada Prabu Kresna raja Dwarawati, maka pada
waktu Bambang Sitija/Suteja dan Dewi Siti Sundari menanyakan ayahnya, oleh
Batara Guru ditunjukkannya bahwa Prabu Kresnalah orang tuanya. Dalam lakon "Bale
Sigalagala" Batara Antabogalah yang menjelma menjadi garangan
putih menolong para Pandawa yang mengalami musibah akan dibakar oleh para
Korawa di dalam pesta. Para Pandawa diajak masuk terowongan dalam bumi yang
akhirnya tembus ke Kahayangan Saptapratala. Di Saptapratalalah Para Pandawa
tinggal untuk beberapa waktu, sehingga Raden Bratasena pun sempat mengawini
Dewi Nagagini putri Batara Antaboga, dan kemudian menurunkan Raden Antareja.
Dalam lakon
carangan "Topeng Waja", Batara Antaboga pernah membantu
cucunya, anak Dewi Pratiwi yaitu Bambang Suteja. Di mana wahyu keprajuritan
atau senopati perang yang semestinya akan dianugerahkan kepada raja
Pringgondani Prabu Anom Gatotkaca, dibelokkan akan dianugerahkan kepada Prabu
Bomanarakasura. Dalam peristiwa tersebut Prabu Kresna pun secara lahir telah
membantu Prabu Bomanarakasura, tetapi karena jasa-jasa Raden Gatotkaca terhadap
negara dan Kahayangan Suralaya jauh lebih besar dibandingkan dengan Prabu
Bomanarakasura yang telah bersekutu dengan sukma Dasamuka si Angkaramurka, maka
berkat kewaspadaan dan kecerdikan Raden Wisanggeni, wahyu tetap jatuh pada
Raden Gatotkaca. Wayang yang diperlihatkan sebagai Batara Antaboga pada waktu
itu wayang Prabu Basudewa. Pergelaran diadakan di Surabaya dan disiarkan oleh
televisi INDOSIAR.
Dalam lakon “Kikis
Tunggarana”, Dalang anak seorang Dalang yang sudah cukup terkenal juga,
pergelaran diadakan di gedung pertemuan gelanggang remaja Jakarta Timur,
diceritakan Batara Antaboga berperang melawan Batara Nagaraja, karena membela
Prabu Bomanarakasura melawan Prabu Gatotkaca. Demikian juga Dewi Pertiwi
melawan Dewi Nagagini.
Ada gubahan,
sanggit atau kreasi yang menceritakan bahwa Dewi Nagagini adalah anak Batara
Antaboga sedangkan Dewi Pertiwi adalah anak Batara Nagaraja, oleh karena begitu
banyaknya sanggit sehingga kadangkala dapat membingungkan para penggemar
wayang. Tentunya adanya pnomena seperti
ini tidak perlu dipersoalan, suatu perbedaan dalam suatu karya kesenian dan
budaya adalah hal yang biasa, malahan dapat menambah banyaknya versi.
Di sini ditunjukkan
salah satu wujud wayang Batara Ataboga dalam suatu penafsiran. Batara Antaboga
bermuka agak tunduk disungging warna merah muda, berhidung mancung, bermata
kedelen, berjanggut wok, berjamang tiga susun, bertopong, bergaruda
membelakang, berbaju lengan panjang, bersampir selendang, berkeris di depan,
berpontoh, berkeroncong, berkain rapekan Dewa dan bersepatu.
15.
BATARA BARUNA.
Gambar-320: BATARA BARUNA
Untuk wayang
gaya Surakarta umumnya jarang ditunjukkan wayang Batara Baruna ini. Dalam
pergelaran-pergelaran khususnya gaya Yogyakarta sering ditampilkan Batara
Baruna dengan bentuk Dewa yang berwajah ikan. Namun dalam rekaman kaset wayang
dengan lakon ”Pendadaran Siswa Sokalima” pernah Ki Anom Suroto Lebdo Carito
menampilkan Batara Baruna ini pada saat Raden Bratasena atas hasutan Patih
Sengkuni diracun darubeksi wisamandi
dan dibuang ke samudra oleh para Korawa. Sehingga Raden Bratasena dapat bertemu
dan ditolong oleh Batara Baruna, diperintahkannya para penghuni samodra supaya
menyerap racun yang ada dalam tubuh Raden Bratasena serta diberikan minuman
tambahan kekutan dengan meminum air
rasakunda. Setiap meminum satu kendi air
rasakunda ini kekuatan akan bertambah delapan kali kekuatan gajah, dan Raden Bratasena kuat meminum sepuluh kendi,
yang berarti kekuatan bertambah delapanpuluh kali kekuatan gajah. Di samping
bebas dari racun Raden Bratasena diberikannya ajian sesupe druwenda yang khasiatnya dapat berjalan di atas air layaknya
di darat dan kemudian dipersandingkannya oleh Batara Baruna dengan putrinya
yang bernama Dewi Rekatawati. Dari perkawinan Raden Bratasena dan Dewi
Rekatawati ini memperoleh seorang anak yang diberi nama Bambang Rananggana.
Dalam lakon ”Arjunasasra Cangkrama Samodra”,
Dengan memberikan cupu Banyu Panguripan
kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, Dewa ini pernah menghidupkan kembali semua
prajurit Maespati yang gugur akibat serangan Raja Alengka Prabu Dasamuka dan
putri domas yang mati bunuh diri akibat hasutan Ditya Kala Marica. Terkecuali
Patih Suwandagni atau Bambang Sumantri tidak dapat dihidupkan kembali karena
sudah menjadi takdirnya. Dalam lakon ”Rama Tambak”, Dewa ini pernah
membantu Prabu Rama Wijaya untuk membuat tambak untuk menyeberang ke Alengka.
Wayang Batara Baruna ditafsirkan berwajah tunduk
disungging warna merah muda, mata kedelen, hidung mancung, bermahkota, rambut
terurai di pundak, berbaju, berkain dan bersepatu Dewa umumnya. Tentunya para pembuat wayang bebas memberikan
tafsiran.
16.
BATARA NAGARAJA.
Gambar-321: BATARA NAGARAJA
Batara Nagaraja adalah raja taksaka (ular) yang bersemayam di Sumur Jalatunda. Permaesurinya bernama
Dewi Taksiki. Dari perkawinannya ini, ia
memperoleh putra dua orang yaitu: Dewi Pratiwi dan Bambang Pratiwanggana.
Banyak versi dalam pewayangan atau pedalangan, yang hal ini disebabkan oleh
banyaknya sanggit, kreasi ataupun gubahan-gubahan baru, sehingga dalam
penuturan maupun pakeliran banyak juga perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu
suatu hal yang wajar-wajar saja apabila ada yang menceritakan bahwa Dewi Pratiwi
bukan putra Batara Nagaraja, tetapi putra sulung Batara Antaboga di Kahayangan
Saptapratala, bersaudara dengan Dewi Nagagini istri Raden Bratasena yang
memperoleh putra Raden Antareja.
Tetapi
pernah terlihat dalam pergelaran ditunjukkan bahwa antara Dewi Pertiwi dan Dewi
Nagagini merupakan dua putri yang tidak ada hubungan keluarga, yaitu dalam
lakon “Kikis Tunggarana”
dimana pada waktu Prabu Bomanarakasura bertanding dengan Raden Gatotkaca
berebut wilayah Tunggarana, peperangan melebar melibatkan Dewi Pertiwi melawan
Dewi Nagagini, sedangkan Batara Antaboga bertanding melawan Batara Nagaraja.
Dalam
lakon “Batara Wisnu Krama”, Batara Nagaraja bersedia menerima lamaran
Batara Wisnu dan menyerahkan Dewi Pertiwi apabila dapat memenuhi satu
persyaratannya yaitu, menyerahkan Akar
dan Cangkog Kembang Wijayamulya yang
kasiatnya dapat menghidupkan orang mati di luar takdir. Akar Kembang
Wijayamulya ada dalam mulut Singamurti peliharaan Prabu Wisnudewa dari
Garbapitu yang ingin melamar Dewi Pertiwi, sedangkan Cangkok Kembang
Wijayamulya ada dalam mulut banteng Handakamurti peliharaan Dewi Pertiwi. Pada
waktu lamaran Prabu Wisnudewa tidak diterima, maka Singamurti mengamuk dan
dihadapi oleh banteng Handakamurti. Sehingga keduanya mati sampyuh dan berubah
menjadi Akar dan Cangkok Kembang Wijayamulya
yang kemudian diambil Batara Wisnu untuk melengkapi Kembang Wijayakusuma
miliknya. Dengan didukung para Dewa, Batara Wisnu disandingkan dengan Dewi
Pertiwi yang kemudian memperoleh keturunan bernama Bambang Sitija dan Dewi
Sitisundari. Setelah Batara Wisnu harus turun ke Arcapada bertugas menjelma
kepada raja-raja di Arcapada untuk membagi-bagi kebahagiaan kepada seluruh umat
manusia di bumi, maka oleh Dewi Pertiwi Akar dan Cangkok Kembang Wijayamulya
diberikannya kepada Bambang Sutija, yang digunakan sebagai senjata dalam
mencari orang tuanya yang telah menitis kepada raja Dwarawati Prabu Kresna.
Wayang
Batara Nagaraja disini ditafsirkan muka tunduk disungging warna merah muda,
mata kedelen, hidung mancung, memakai mahkota, selendang/sampir di pundak,
berkain katongan. Ada yang menafsirkan
Batara Nagaraja berupa seekor ular besar. Betul dan tidaknya penafsiran ini
terbalik kepada para Dalang dan pencipta wayang tentunya.
VI. DENAWA-DENAWA ALENGKA.
Denawa-denawa
Alengka seharusnya memang dilengkapi secara khusus, tetapi karena
kurangnya/terbatasnya jumlah wayang yang disediakan dalam pergelaran-pergelaran
maka dalam lakon-lakon yang bersumberkan Ramayana di mana wayang tokoh-tokoh
Alengka banyak dipertunjukkan wayang-wayang denawa prepatan (srambahan). Di
samping sulitnya mencari sumber-sumber dalam bentuk media cetak, sampai saat
pembuatan wayang ini selesai, nampaknya untuk memperbanyak referensi perlu
meneliti/mengamati jenis wayang Ramayana yang mungkin ada, khususnya wayang
pusaka keraton Mangkunegaran. Oleh karena itu apa yang ditunjukkan di sini
hanyalah merupakan penafsiran pribadi ditambah beberapa pengamatan pada
pergelaran-pergelaran yang pernah ada. Karena dalam pergelaran wayang, ada
kemungkinan Ki Dalang mengeluarkan wayang atas dasar cepengan (bahasa
Jawa)/enaknya dipegang saja, walaupun wayang yang sebenarnya ada, sehingga
digantikan dengan wayang lain. Biasanya seorang Dalang mempunyai atau membawa
wayang milik sendiri yang kemungkinan disayangi enak dipegangnya (sabetannya).
Apalagi untuk melaksanakan mengeluarkan wayang dengan wanda sesuai dengan
keadaan dalam pakeliran, tentunya pendapat yang demikian tidak mudah untuk
dilaksanakan. Baiklah kiranya dapat dimulai menguraikan/menunjukkan wayang
golongan denawa/buta dari Alengka secara satu persatu walaupun masih belum
lengkap benar.
1. RADEN KUMBAKARNA.
Gambar-409:
RADEN KUMBAKARNA MUDA
Gambar-410:
RADEN KUMBAKARNA DEWASA
Raden Kumbakarna adalah putra
Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi setelah dapat membacakan ilmu ”sastra jendra” . Raden Kumbakarna
merupakan putra yang kedua, adik Rahwana/Dasamuka dan kakak dari Sarpakenaka
dan Gunawan Wibisana. Walaupun berwujud raksasa besar tetapi berjiwa ksatria
dan berbudi pekerti luhur. Berkedudukan di ksatrian Pangleburgongsa. Ketika
bertapa di Gunung Goh Karna mendapatkan anugerah dari Dewa suatu ilmu
kesempurnaan dan seorang Bidadari cantik bernama Batari Kiswani. Kumbakarna tidak
suka terhadap keserakahan dan angkara murka, oleh karena itu, ia selalu
menentang kakaknya Dasamuka yang serakah dan angkara murka itu.
Suatu ketika banyak prajurit
senapati Alengka yang telah gugur di medan perang melawan bala tentara Prabu
Rama Wijaya, maka diutuslah Raden Indrajit untuk memanggil Raden Kumbakarna
dari ksatrian Pangleburgongsa, dikatakannya bahwa negara Alengka telah diduduki
bala tentara wanara dari Pancawati dan kedua putranya Aswanikumba dan
Kumbakumba telah gugur di medan laga. Maka murkalah Raden Kumbakarna demi
negara dan kedua putranya maju ke medan perang mengamuk bukan untuk membela
keangkaramurkaan kakaknya Rahwana. Kumbakarna maju perang setelah mandi jamas
dan mengenakan pakaian yang serba putih, di medan laga dikeroyok oleh
beribu-ribu tentara wanara di bawah pimpinan Narpati Sugriwa, hingga banyak
prajurit wanara yang gugur, termasuk Narpati Sugriwa sendiri tidak mampu
menghadapi kekuatan Raden Kumbakarna, walaupun hidung Raden Kumbakarna telah
putus/gruwung (bahasa Jawa) digigitnya. Sehingga Narpati Sugriwa ditegur oleh
Prabu Rama, bahwa seorang ksatria yang berbudi luhur dalam perang tidak
dibenarkan menggigit. Namun berkat
permintaan adiknya Gunawan Wibisana yang telah memihak pada Prabu Rama,
agar kakaknya mati sempurna dengan senjata panah Guwawijaya Prabu Rama, maka
gugurlah Kumbakarna dengan tubuh terpenggal-penggal sebagaimana kisah Arya
Jambumangli melawan Begawan Wisrawa dulu. Pada waktu Raden Kumbakarna maju
perang, membawakan perbawa suasana alam seisinya ikut berduka cita, matahari
redup, banyak pepohonan ikut layu, binatang-binatang tidak ada satu pun yang
bersuara lagi, seolah-olah ikut menderita karena Raden Kumbakarna harus
menentukan pilihan, untuk memisahkan antara membela negara/tanah air dan
keangkaramurkaan kakaknya Rahwana. Ada Dalang yang mempunyai sanggit, pada
waktu Raden Kumbakarna tiba di hadapan Rahwana dijamu dengan makanan yang
enak-enak, karena selama ini Raden Kumbakarna selalu bertapa tidur, namun
begitu Rahwana menuntut balik agar Raden Kumbakarna maju perang membela
dirinya, maka makanan yang telah disantapnya dikeluarkan dari perutnya utuh
seperti semula dan Raden Kumbakarna meninggalkan istana Alengka. Sukma Raden
Kumbakarna ini kelak akan menyatu dengan Raden Werkodara satria penegak Pandawa
lima, dalam lakon ”Rama Nitik”.
Cerita kepahlawanan Raden Kumbakarna ini telah dituturkan dalam bentuk tembang
Dandanggula yang terkenal dengan sebutan Serat
Tripama, tiga tokoh wayang yang pantas ditauladani, yaitu: Bambang
Sumantri, Raden Kumbakarna dan Adipati Basukarna. Dalam pergelaran-pergelaran
wayang lakon ”Kumbakarna Gugur”
ini sangat menyedihkan, apalagi ketika dibawakan oleh seorang Dalang yang
memiliki banyak sanggit atau kreatifitas, disesuaikan dengan kemajuan zaman
sehingga seolah-olah masih relevan kisah tersebut.
Wayang Raden Kumbakarna waktu masih muda
ditunjukkan sebagai raksasa bergaruda besar, berpraba, tangan belakang
lepas/udar (bahasa Jawa). Namun setelah dewasa tentunya berujud raksasa besar
berbentuk Buta Raton sebagaimana telah ditunjukkan dalam kelompok wayang
simpingan sebelah kiri. Ini adalah ujud wayang Kumbakarna muda menurut kesan pribadi/tafsiran seorang penggemar atau
pembuat wayang, tepat dan tidaknya tentunya kembali kepada para Dalang dan
masyarakat pewayangan sendiri.
3. JAMBUMANGLI.
Gambar-413: ARYA JAMBUMANGLI
Gambar-414: JAMBUMANGLI (GENERASI KEDUA)
Jambumangli
adalah raksasa dari Alengka yang hidup sebelum Prabu Dasamuka lahir. Ia adalah
kemenakan Prabu Sumali raja Alengka, anak Ditya Maliawan. Karena Jambumangli
menaruh hati kepada Dewi Sukesi yang sepupunya sendiri, maka pada waktu
sayembara mengartikan "sastrajendra
hayuningrat pangruwating diyu" disiarkan oleh
Jambumangli ditambah harus dapat mengalahkan dirinya. Jambumangli raksasa
besar, luar biasa kekuatannya, banyak para raja ksatria yang memasuki sayembara
namun tidak dapat mengalahkan Jambumangli. Akhirnya hanya Begawan Wisrawalah
yang dapat menjelaskan arti "sastrajendra
hayuningrat
pangruwating
diyu"
bersamaan membinasakan hingga hancur berkeping-keping tubuh Jambumangli. Roh
Jambumangli mengeluarkan kutukan, bahwa kelak anak Begawan Wisrawa akan mati
dengan cara anggota tubuhnya terpisah-pisah. Hal tersebut benar-benar terjadi pada Kumbakarna putra
Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi.
Lain pula dengan
Jambumangli yang hidup pada zaman kekuasaan Prabu Dasamuka. Jambumangli ini
adalah anak keturunan Jambumangli yang binasa terpatah-patah oleh Resi Wisrawa
tersebut di atas. Ia senapati sakti negara Alengka, ia dapat mengamuk dalam
perang melawan bala tentara wanara Pancawati, hingga banyak yang gugur. Ia
tidak hancur oleh pukulan Anoman dengan pepohonan. Namun baru binasa remuk oleh
karena ditimpa batu gunung oleh Anoman.
Wayang
Jambumangli berhidung haluan perahu, bermata plelengan, bermulut menganga
nampak gigi-gigi dan taringnya, berjamang dua susun, bersanggul keling,
bersumping kembang keluwih, muka agak dongak tersungging warna merah, berkalung
ulur-ulur, tangan terlepas dapat digerakkan kedua-duanya. Berkain katongan
raksasa. Kalau wayang yang demikian tidak disediakan tentunya dapat digantikan
dengan wayang lain. Di sini ditunjukkan dua wayang Jambumangli, yang satu
mungkin dapat ditunjukkan sebagai Jambumangli yang hidup pada zaman raja
Alengka Prabu Sumaliraja yaitu yang bergelung keling dengan garudan kecil, muka
disungging warna merah, sedangkan yang lain Jambumangli yang hidup pada zaman
raja Alengka Prabu Dasamuka, bergelung keling tanpa garudan, muka dongak warna
merah.
4. PATIH PRAHASTA.
Gambar-415: PATIH PRAHASTA
Prahasta adalah
putra kedua Prabu Sumaliraja. Ia adik Dewi Sukesi. Ada seorang Dalang yang menceritakan bahwa Prahasta
sebenarnya bukan seorang raksasa. Ia berwajah tampan. Tetapi karena pada waktu
Begawan Wisrawa mengajarkan aji "sastrajendra
hayuningrat
pangruwating
diyu"
kepada Dewi Sukesi, ia mendengarkan secara tidak jujur yaitu dengan cara
mengintip. Karena ilmu/aji "sastrajendra"
ini memang ampuh pengaruhnya terhadap makhluk hidup, maka Prahasta kena tulah
dan kualat tubuhnya membengkak menjadi seorang raksasa. Dalam
pergelaran-pergelaran yang pernah ada terlihat seorang Dalang yang sudah cukup
terkenal agak sering menunjukkan Prahasta seperti wayang yang ditunjukkan di
sini. Tepat tidaknya wayang Prahasta yang ditunjukkan dalam buku ini
dikembalikan kepada para pakar dan penggemar wayang tentunya, karena setiap
orang dapat bebas memberikan penafsiran sendiri, khususnya Ki Dalang. Bahkan bila wayang yang demikian tidak ada dapat
digantikan dengan wayang Buta Patih. Setelah Prabu
Sumaliraja turun takhta, cucunya Prabu Dasamuka menggantikannya. Sedangkan
Prahasta diangkat menjadi patihnya. Walaupun berujud raksasa Prahasta berhati
baik. Pada waktu terjadi perang besar Alengka melawan bala tentara wanara,
Prahasta maju ke medan perang bukan karena membela nafsu angkara murka putra
kemenakannya Rahwana, tetapi semata-mata hanya membela tanah tumpah darahnya
sama halnya dengan Kumbakarna. Maka pada
waktu berangkat memimpin perang banyak diantar oleh para warga Alengka.
Prahasta pun meneteskan air matanya karena terharu dan sudah tahu bahwa dirinya
ada di pihak yang salah dan bakal kalah dalam peperangan ini karena yang
dihadapi adalah Prabu Rama yang titisan Batara Wisnu Dewa yang wenang membagi kebahagiaan. Di medan laga
Prahasta berhadapan dengan Anila, wanara pendek berbulu biru anak Batara
Narada. Keduanya sama-sama sakti. Akhirnya Prahasta gugur dihatam kepalanya
dengan tugu hitam oleh Anila. Tugu hitam
berubah rupa menjadi Bidadari cantik yang bernama Dewi Windradi yang
merupakan ibu dari Dewi Anjani, Subali dan Sugriwa. Karena kutukan Resi Gotama
di pertapaan Grastina di bukit Sukendra Dewi Windradi yang bermain cinta dengan
Batara Surya itu berubah menjadi tugu hitam tersebut. Setelah pulih kembali
menjadi Bidadari kembali ke Kahyangan berkumpul kembali dengan para Bidadari
lainnya. Banyak buku-buku wayang yang
memberikan ilustrasi Patih Prahasta dengan wayang raksasa bertopong dan
berpraba, tidak seperti ini.
Wayang Prahasta
di sini, berhidung haluan perahu, bermulut menganga tampak gigi-gigi dan
taringnya, bermata plelengan, bermuka tunduk disungging warna merah, berjamang
dua susun, memakai topong, bergaruda membelakang, berambut ngore/nggendong
(bahasa Jawa) terurai sampai punggung. Tangan belakang terlepas dapat
digerakkan, berkain katongan raksasa. Ada kemungkinan wayang ini dapat
diberikan nama lain, umpamanya: Patih Pancatnyana, Patih Sekipu atau patih-patih
seberang lainnya, semuanya tergantung pada Ki Dalang yang pasti.
5.
MINTRAGNA.
Gambar-416: MINTRAGNA
Bupati Patih
Mintragna adalah raksasa gegedug
anung-anung (bahasa Jawa) atau andalan negara Alengka dari pemerintahan
Prabu Sumaliraja hingga Prabu Dasamuka. Mulai zaman penyerangan bala tentara
Prabu Danaraja dari negara Lokapala ke Alengka, karena merasa dikhianati oleh
ayahnya Begawan Wisrawa dan penyerangan Lokapala oleh Prabu Rahwana adik Prabu
Danaraja tunggal ayah lain ibu dari Alengka. Demikian juga ketika Kahyangan
Suralaya dan negara Maespati diserang bala tentara Alengka patih Mintragna
merupakan raksasa senapati andalan dari Alengka.
Mintragna ini
seangkatan dengan Ditya Jambumangli yang pada zaman pemerintahan Prabu
Sumaliraja mengadakan sayembara siapa yang ingin mempersunting Dewi Sukesi
putri Prabu Sumaliraja harus terlebih dulu dapat menyempal bahu kiri kanannya,
di samping dapat menjelaskan “sastra
jendra” . Oleh karena itu raksasa ini sangat berpengalaman dalam peperangan
terdahulu. Pada waktu bala tentara
wanara menyerang pusat negara Alengka, Jambumangli yang merupakan anak
keturunan Jambumangli yang tewas melawan Begawan Wisrawa dulu, karena amukan
Anoman tewas juga dipukul dengan bukit batu. Menyaksikan tewasnya Jambumangli,
maka Mintragna menjadi geram, diputarnya senjata limpung, mengamuk
sejadi-jadinya. Korban berjatuhan di kalangan prajurit wanara. Raksasa yang
bertubuh tinggi besar ini menggelundung sambil menggeram, kemudian meloncat
sambil memukul musuh dengan senjata limpung.
Melihat
kejadian ini Gunawan Wibisana dengan menyembah terlebih dulu kepada Prabu Rama,
tanpa diminta segera masuk di tengah-tengah pertempuran. Setelah Gunawan
Wibisana berhadapan dengan Mintragna para prajurit tentara menjauh. Melihat
yang datang adalah Gunawan Wibisana maka Mintragna berteriak: “Hee Gunawan Wibisana, aku memang ingin
sekali memotong lehermu, satria hina yang telah lari ke musuh. Sayang satria
bagus adik raja membalik kepada musuh, lebih senang bercampur dengan
monyet-monyet daripada harus membela raja sendiri”. Maka Wibisana pun
menjawab: “engkau memang benar Mintragna.
Aku berpendirian bahwa bergaul rapat dengan orang jahat dapat ketularan,
walaupun orang jahat itu saudara tua sendiri. Aku ingin mati di pihak yang
benar, bukan sebaliknya.
Mendengar
jawaban gunawan Wibisana Mintragna tidak
sabar lagi. Dipukulnya Wibisana dengan limpung. Namun Wibisana tidak
menghindar. Berkali-kali tubuhnya dilimpung oleh Mintragna, tetapi tidak luka
sedikit pun. Akhirnya dengan tersenyum Gunawan Wibisana memutar senjata gada,
dan digadanya tubuh Mintragna. Mintragna tewas, tubuhnya hancur lebur.
Wayang
Mintragna ini merupakan tafsiran belaka, dengan tujuan memperkaya jumlah wayang
khususnya kelompok Raksasa Alengka ini, karena tidak aneh lagi bila
masing-masing Dalang dapat menunjukkan raksasa Mintragna ini dengan
tafsiran/kreasinya masing-masing yang mungkin tidak sama dengan wayang yang
ditunjukkan di sini.
6.
PRAGONGSA.
Gambar-417: PRAGONGSA
Sama
dengan Mintragna, Pragongsa adalah raksasa yang merupakan senapati yang sangat
sakti menjadi andalan bala tentara Alengka dan memiliki pengalaman perang yang
sangat banyak. Dimulai dari perang melawan serangan tentara Lokapala ke
Alengka, perang menyerang balik ke Lokapala, perang Ayodya dan perang menyerang
Kahyangan Suralaya, maupun perang Maespati.
Pada
waktu bala tentara wanara Prabu Rama menyerang Alengka untuk meminta kembalinya
Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana, Pragongsa menghadapi serangan tersebut.
Karena Pragongsa merupakan senapati andalan Alengka, maka ia tidak sembarang
memilih tandingan. Apalagi Pragongsa adalah raksasa yang mahir terbang, maka
amukannya pun dahsat sekali. Ia tidak mau bertempur melawan prajurit wanara
biasa. Ia memilih lawannya di pihak wanara-wanara yang sakti.
Sugriwa
melihat gelagat ini. Setelah melakukan sembah kepada Prabu Rama, ia segera
melesat ke angkasa. Melihat tampilnya Sugriwa di angkasa, Pragongsa gembira
sekali karena mendapatkan lawan yang sederajat. Ia terbang mendekati Sugriwa.
Katanya: “Ee Sugriwa, aku mendapatkan
kehormatan dapat berperang melawanmu. Ayo kita berperang di angkasa”.
Sugriwa seorang raja wanara yang biasa berpikir cepat dan tidak mau berbicara
banyak, waktunya dipergunakan untuk memimpin pertempuran. Belum selesai
Pragongsa dengan tutur katanya ia sudah diterjang dadanya oleh Sugriwa. Dada
Pragongsa pecah. Darah mengalir dengan derasnya. Pragongsa tewas. Tubuhnya yang
besar tinggi itu jatuh dari angkasa, tiba di tanah dengan menimbulkan suara
gumebruk menggetarkan bumi. Maka para prajurit wanara bersorak sorai sambil
menari-nari. Demikian cerita singkat raksasa Pragongsa.
Sama
halnya dengan raksasa Alengka lainnya, Pragongsa ini dapat ditunjukkan dengan
wayang raksasa apapun, malahan tidak menutup kemungkinan bila tidak dibuat
secara khusus, sering digantikan dengan denawa prepatan. Apa yang ditunjukkan
disini hanyalah merupakan usaha untuk memperkaya seni kriya wayang kulit khususnya
gaya Surakarta ini.
7.
BAJRAMUSTI
Gambar-418:
BAJRAMUSTI
Bajramusti bukan Brajamusti (raksasa Pringgondani)
termasuk juga bupati Alengka yang menjadi senapati andalan dalam setiap
peperangan, mulai Alengka di bawah kekuasaan Prabu Sumaliraja hingga Prabu
Dasamuka. Ia berpengalaman di medan perang Lokapala, Ayodya, Kaendran dan
Maespati. Pada waktu bala tentara wanara Prabu Rama menyerang Alengka untuk
meminta kembalinya Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana, telah banyak bala tentara
raksasa Alengka yang tewas, termasuk Jambumangli telah tewas oleh Anoman,
Mintragna telah tewas oleh Gunawan Wibisana, Pragongsa telah tewas oleh
Sugriwa. Prajurit Alengka terdesak oleh serbuan prajurit-prajurit wanara yang
semangatnya menjadi berkobar-kobar. Korban banyak jatuh di kalangan raksasa
Alengka.
Menyaksikan
perkembangan pertempuran ini Bajramusti marah sekali. Ia mengamuk
sejadi-jadinya dengan memutar senjata limpung. Ia menggeram keras sekali
memekakkan telinga. Banyak tentara wanara-wanara sakti yang menjadi korbannya.
Oleh karena itu bupati wanara yang bernama Arimenda atau Kapi Menda cepat-cepat
mendekati raksasa Bajramusti. Melihat wanara berkepala kambing ini, Bajramusti
tertawa dan menganggap bukan tandingannya, karena Bajramusti merupakan senapati
tua dari Alengka yang sudah cukup berpengakaman dalam peperangan hanya
berhadapan dengan seekor kera tua berkepala kambing. Demikian juga Arimenda ini
juga merasa prajurit wanara yang sudah banyak berpengalaman dalam peperangan
dan masih pengasuh Narpati Sugriwa pada waktu masih muda.
Tanpa
banyak berbicara Kapi Menda menerjang Bajramusti. Pertempuran terjadi seru
sekali. Mereka saling terjang, saling pukul, saling tarik dan saling dorong.
Mereka saling banting dan saling jambak atau tarik rambut, sehingga debu
mengepul di udara. Prajurit-prajurit kera banyak menjauh, mereka mengagumi
kedua senapati sakti ini bertempur. Yang satu berujud kera sedangkan yang lain
berujud raksasa. Akhirnya Bajramusti lengah dapat diterjang punggungnya dan jatuh
tertelungkup, diinjak punggungnya dan dengan cepat dipuntirnya lehernya oleh
Arimenda hingga putus. Bajramusti tewas di medan perang.
Sama halnya
dengan raksasa Alengka lainnya, Bajramusti ini dapat ditunjukkan dengan wayang
raksasa apapun, malahan tidak menutup kemungkinan bila tidak dibuat secara
khusus, sering digantikan dengan denawa prepatan. Demikian pula sebaliknya jika
wayang Patih Prahasta tidak disediakan, wayang ini bisa juga digunakan sebagai
Patih Prahasta. Apa yang ditunjukkan disini hanyalah merupakan usaha untuk
memperkaya seni kriya wayang kulit khususnya gaya Surakarta ini.
12. KALA MARICA.
Gambar-419: KALA MARICA
Kala Marica
adalah raksasa kepercayaan Prabu Dasamuka di Alengka pada waktu Prabu Dasamuka
mengetahui bahwa Dewi Widowati sudah menjelma menjadi Dewi Sinta istri Sri Rama
Regawa yang pada waktu itu sedang berada dalam pembuangan di hutan Dandaka,
Kala Marica diberi tugas untuk memisahkan Dewi Sinta dari Sri Rama. Kala Marica
menjelma menjadi kijang emas/kencana yang menarik perhatian Dewi Sinta. Karena
kecerdikan Kala Manca inilah, Dewi Sinta dapat diculik Prabu Dasamuka dibawa ke
negara Alengka, maka terjadi perang besar sehingga Prabu Dasamuka gugur. Dalam
zaman Prabu Arjuna Sasrabahu, Kalamarica dengan segala kecerdikannya dapat
menipu permaisuri Dewi Citrawati dan delapan ratus Putri Domas, sehingga mereka
bunuh diri. Kala Marica mati setelah tertangkap oleh Kapi Pramujabahu, dijatuhi
hukuman siksaan sampai mati sesuai dengan perbuatannya. Demikian menurut
Ensiklopedi.
Wayang Kala
Marica menyerupai wayang Buta Cakil, di sini ditunjukkan Cakil bertopong,
berambut terurai sampai di punggung. Pernah terlihat bentuk wayang Kala Marica digantikan dengan Buta Cakil,
karena memang wayang Kala Marica yang sebenarnya tidak tersedia. Karena Kala
Marica adalah abdi dekat dengan raja yaitu Prabu Dasamuka, maka di sini
ditafsirkan Cakil bertopong, benar atau salahnya setiap Dalang bebas memberikan
tafsiran sendiri.
13. ANGGRISANA.
Gambar-420: ANGGRISANA
Gambar-421: ANGGRISANA (VERSI LAIN)
Anggrisana atau
Anggisrana atau Janggisrana adalah punggawa/abdi (bahasa Jawa) negara Alengka
yang terkenal dengan sebutan Maling Julik artinya
pencuri yang sangat cerdik. Dalam lakon "Rama Tambak",
Anggrisana dipanggil Prabu Dasamuka untuk diberikan tugas menyamar dalam
barisan wanara/kera di Swelagiri. Dalam tugas tersebut Anggrisana harus dapat
merusak pembuatan tanggul/jembatan untuk penyeberangan para wanara/kera. Karena
wujud dari Anggrisana sangat susah dibedakan jika bercampur dengan para kera,
maka Senapati Swelagiri susah mengerti siapa yang merusak tambak/tanggul yang
setiap harinya tidak bertambah. Berkat kecermatan Raden Gunawan Wibisana yang
telah mengenal betul Anggrisana ini di negara Alengka, maka ditangkaplah ia.
Namun Narpati Sugriwa tidak percaya bahwa ia adalah mata-mata musuh dari
Alengka, karena Narpati Sugriwa mungkin tidak menggunakan ilmu inteljen kalau
bahasa sekarang, maka ia dianggapnya anggota bala tentara Wanara. Untuk itu
diadakan pemeriksaan antara lain: disuruh memanjat, diperiksa ekornya, disuruh
mere (bahasa Jawa). Ia tidak dapat memanjat dengan alasan tangannya sakit. Ia
tidak memiliki ekor karena telah dipotong pada waktu masih kecil. Ia tidak
dapat mere, tetapi dapat mendengkur sebagaimana seorang raksasa. Dari sinilah
terbukti bahwa ia benar-benar mata-mata musuh. Oleh Anoman dan persetujuan
Narpati Sugriwa, Anggrisana dihadapkan kepada Sri Rama Wijaya untuk diadili
sebagaimana layaknya seorang mata-mata. Oleh Sri Rama, Anoman diperintahkan
agar memberikan makanan yang enak, perhiasan secukupnya agar dilepas ikatan
tangannya. Para Wanara menjadi heran atas anugerah yang diberikan kepada
Anggrisana, padahal ia jelas jelas mata-mata dari Alengka. Sri Rama menjelaskan
kepada semua bala tentara Pancawati bahwa Anggrisana ini pantas ditauladani
untuk para bala tentara. Karena ia berani mempertaruhkan nyawanya masuk dalam
barisan musuh demi kesetiaannya kepada rajanya. Anggrisana dilepas setelah
menerima beberapa hadiah, kembali ke Alengka menghadap Prabu Dasamuka. Karena
Anggrisana memuji-muji kebaikan Sri Rama, Prabu Dasamuka naik darah, dan
ditebaslah lehernya hingga putus dan meninggal seketika. Demikian cerita
tentang Anggrisana dalam Ramayana.
Dalam zaman Prabu
Arjuna Sasrabahu, Anggrisana telah berbuat yang sama, menyamar sebagai prajurit
Maespati. Ia masuk ke pesanggrahan para putri domas dan Dewi Citrawati. Ia
melaporkan bahwa Prabu Arjuna Sasrabahu telah gugur di medan perang melawan
Prabu Dasamuka untuk membela kematian Patih Suwanda. Mendengar laporan ini Dewi
Citrawati belapati suduk salira dan diikuti oleh semua putri Domas. Namun
berkat bantuan Batara Baruna dengan membawa "tirta mulya",
atau "tirta maya mahosadi" semua yang meninggal
dapat hidup kembali, kecuali Patih Suwanda yang memang sudah takdirnya. Dalam
zaman Sugriwa Subali, Anggrisanalah yang mempengaruhi Prabu Dasamuka supaya
Resi Subali dapat terbunuh. Karena selama Resi Subali masih hidup, Prabu Dasamuka
masih ada ganjalan dengan Resi Subali, karena beliaulah ia memperoleh aji
Pancasona. Anggrisana menyamar sebagai inang pengasuh Dewi Tara, melapor kepada
Resi Subali bahwa sekarang ini Dewi Tara sering disiksa oleh Sugriwa. Dewi Tara
masih cinta dengan Resi Subali maka ia datang kepada Resi Subali. Dari sinilah
sumber pertengkaran Subali dan Sugriwa hingga akhirnya Subali gugur.
14. DITYA YUYURUMPUNG.
Gambar-422: DITYA YUYURUMPUNG
Gambar-423: DITYA YUYURUMPUNG (VERSI LAIN)
Ditya Yuyurumpung
adalah raksasa Alengka yang bertugas di Samudra. Ia muncul dalam lakon "Rama
Tambak". Pada waktu para bala tentara wanara sedang membuat
tambak/tanggul untuk jembatan menuju negara Alengka, Ditya Yuyurumpung
mengganggu pembuatan tanggul tersebut. Berkali-kali Wadya Wanara membangun dan
memperbaikinya tanggul tersebut roboh hancur dan tenggelam. Anoman mengadakan
pengamatan dari angkasa dengan terbang setinggi-tingginya, segala perbuatan
Ditya Yuyurumpung tersebut dapat diamatinya. Maka oleh Anoman di tempat
persembunyiannya dalam laut dipancing dengan ekornya. Karena Ditya Yuyurumpung
digambarkan rakasasa berkepala kepiting dan memiliki supit. Dijepitlah ekor
Anoman oleh Ditya Yuyurumpung semakin lama semakin kencang, oleh Anoman
disentaklah ke darat hingga Ditya Yuyurumpung tersungkur, ditangkap dan
dibinasakan hingga hancur berkeping-keping. Demikian cerita Ditya Yuyurumpung
yang terdengar dalam salah satu kaset rekaman wayang yang dibawakan oleh
seorang Dalang yang cukup terkenal, mungkin masih banyak para Dalang yang
memiliki sanggit lain lagi.
Wayang ini dibuat
dalam bentuk raksasa yang berhidung pesek, mulut menganga nampak gigi-gigi dan
taringnya, bermata kelipan nampak kedua matanya, rambut terurai, bersupit
kepiting besar dua buah, berkain cawatan, bersenjata bedama terselip di
perutnya. Demikian salah satu tafsiran wujud wayang Ditya Yuyurumpung, tentunya
setiap Dalang, pencipta dan penggemar wayang dapat menafsirkan lain lagi.
16. DITYA WILKATAKSINI.
Gambar-424: DITYA WILKATAKSINI
Wayang ini
disebut juga Garulangit. Raksasa ini mendapatkan tugas untuk menjaga memantau
musuh yang hendak memasuki negara Alengka dan hidup di laut. Tiap hari
mengaduk-aduk air laut sambil memungut dan memakan ikan dengan tangannya yang
sangat panjang. Pada waktu Anoman menjadi Duta Sri Rama Wijaya untuk memasuki
negara Alengka, Ditya Wilkataksini dapat menyambar atau menyedotnya dan
menelannya. Anoman masuk dalam mulutnya yang lebar seperti gua itu, namun
terhenti di tenggorokannya. Keluar tidak dapat, masukpun tidak dapat. Akibatnya
Wilkataksini matanya berkunang-kunang mengeluarkan air mata, tidak dapat
bernafas. Karena Anoman tidak tahan lagi bau busuk mulutnya maka dirobeklah
tenggorokan raksasa ini dengan kuku pancanakannya dari atas ke bawah robekan
terbuka dan darah mengucur dengan deras. Anoman meloncat ke luar sambil
menerjang dinding leher. Akibat robekan tersebut Wilkataksini tewas.
Ada yang
menceritakan bahwa Ditya Wilkataksini masih bersaudara dengan Ditya Tatekini.
Keduanya hidup di laut, mempunyai kesaktian dapat mendeteksi musuh yang akan
masuk wilayah perairan negara Alengka, oleh karena itu oleh Prabu Dasamuka
keduanya diberikan tugas mengamankan lautan.
Dalam lakon ”Anoman
Duta” kedua raksasa ini nampaknya tidak pernah ditampilkan
kedua-duanya, mungkin karena alasan pertama wayangnya memang tidak ada, kedua
waktunya tidak cukup karena habis di Limbukan atau goro-goro, sehingga jalannya
pergelaran sangat tergesa-gesa, ini adalah salah satu pendapat, siapapun boleh
tidak sama.
Wujud Ditya
Wilkataksini berupa seorang raksasa yang berkepala semacam buaya, mulut
menganga lebar panjang, lidah menjulur, nampak gigi-gigi dan taringnya. Bermata
kelipan tampak kedua-duanya, bersumping dan berkalung ikan. Tangan belakang
irasan memegang ikan, tangan depan panjang terlepas dapat digerakkan,
bersenjata golok terselip di pinggangnya, berkain terbalut semacam sarung.
17. DITYA WIRAKAMPANA.
Gambar-425: DITYA WIRAKAMPANA
Ditya
Wirakampana adalah raksasa kusir kereta Raden Gunawan Wibisana di kesatrian
Nguntara. Sudah tidak aneh lagi bahwa wadyabala negeri Alengka terkenal berujud
manusia dan raksasa, demikian juga di kesatrian Nguntara. Pada waktu Raden
Gunawan Wibisana bergabung dengan Prabu Rama Wijaya di Pancawati naik kereta
Jatisura menyeberang dari Alengka ke negara Pancawati, Ditya Wirakampanalah
yang menjadi kusir/saisnya. Namun kedatangannya di Pancawati sebagai sais
disambut dengan kekerasan oleh balatentara wanara Pancawati. Karena setiap
raksasa yang masuk Pancawati harus disirnakan, apalagi raksasa dari Alengka.
Demikian juga nasib Ditya Wirakampana, setibanya di Pancawati mengusiri kereta
Raden Gunawan Wibisana yang bermaksud baik menggabungkan diri dengan Prabu Rama
Wijaya, telah menjadi korban terbunuh oleh Raden Anggada dengan ditimbun
gunungan tanpa dosa dan kesalahan apapun. Padahal sewaktu Anoman sebagai duta
di Alengka dulu melalui Ki Lurah Tejamantri/Togog telah berpesan bahwa dirinya
ingin bergabung dengan Prabu Rama Wijaya di Pancawati dan tidak setuju dengan
keangkaramurkaan kakaknya Rahwana. Oleh karena itu Anoman memohon maaf kepada Raden
Gunawan Wibisana atas kematian Ditya Wirakampana ini. Oleh karena itu Raden
Gunawan Wibisana menjawab bahwa kematian Ditya Wirakampana mungkin sudah kehendak
Dewa.
Wayang
Ditya Wirakampana berujud raksasa berhidung haluan perahu, bermulut menganga
nampak gigi-giginya, mata plelengan, berjamang dua susun, bergaruda kecil,
rambut bulat, bersumping kembang keluwih, berkalung ulur-ulur, tangan belakang
lepas, berkain katongan prajurit. Muka disungging warna merah muda, badan
disungging warna prada. Namun pernah terlihat dalam pergelaran dengan lakon ”Rama Tambak” wayang Ditya
Wirakampana ditunjukkan wayang buta Rambut Geni, oleh karena itu tepat atau
tidaknya wayang Ditya Wirakampana seperti ini terbalik kepada para Dalang dan
masyarakat pewayangan tentunya. Wayang Ditya Wirakampana yang ditunjukkan di
sini adalah penafsiran seorang penggemar dan pembuat wayang, yang merupakan
kesan pribadi.
18. DITYA KARADUSANA.
Gambar-426: DITYA KARADUSANA
Gambar-427: DENAWA ALENGKA LAINNYA
Gambar-428: DENAWA ALENGKA LAINNYA
Ditya Karadusana
adalah suami muda Dewi Sarpakenaka adik Prabu Dasamuka raja Alengka. Suami Dewi
Sarpakenaka selain Ditya Karadusana adalah Ditya Kala Nopati. Karena
Sarpakenaka adalah adik dari raja agung binatara (bahasa Jawa), kaya raya dan
ditakuti orang-orang dalam dan luar negeri, maka tidak aneh jika suaminya pun
lebih dari satu. Belum kekasih-kekasih yang tidak resmi lainnya. Dewi
Sarpakenaka sangat dimanja oleh Prabu Dasamuka, oleh karena itu segala
perilakunya tidak ada yang berani mengganggu dan memperingatkannya.
Karena Dewi
Sarpakenaka jatuh hati pada Raden Lesmana di hutan Dandaka, sedangkan Raden
Lesmana tidak melayaninya dan dipotonglah hidungnya hingga menjerit-jerit
mengadu pada suaminya Ditya Karadusana. Ditya Karadusana tanpa berpikir benar
salahnya laporan istrinya tersebut membelanya melawan Raden Lesmana hingga
tewas terbunuh.
Wayang Ditya
Karadusana berwujud raksasa gemuk pendek, berhidung haluan kapal, bermulut
menganga nampak gigi-gigi dan taringnya kedua matanya nampak bentuk kelipan,
rambut lurus besar-besar warna kemarah-merahan, berkalung, bersenjata golok
terselip diperutnya, berkain terbalut sarung. Demi kian salah satu penafsiran
tentang wujud wayang Ditya Karadusana, adapun wayang ini akan diberikan nama
apa pun tentunya tergantung pada Ki Dalang. Atau sebaliknya, Ditya Karadusana
dapat juga ditunjukkan wayang yang lainnya umpamanya: salah satu dari denawa
prepatan.
XIV. WAYANG GOLONGAN RICIKAN.
Gambar-491: GAJAH KENDARAAN
Gambar-492: BANTENG
Gambar-493: BANTENG
Gambar-494: CELENG
Gambar-495: HARIMAU
Gambar-496: KUDA KENDARAAN
Gambar-497: KUDA KENDARAAN
Gambar-498: GARUDA
Gambar-499: GARUDA
Gambar-500: NAGA DAN NAGA RAJA
Gambar-501: JATASURA
Gambar-502: BARISAN
Gambar-503: BARISAN
Gambar-504: KERETA KENDARAAN
Gambar-505: KERETA KENDARAAN
Gambar-506: BRAYUT
Gambar-507: RUSA
Wayang golongan
ricikan ini ada yang menyebutkan termasuk di dalamnya Gunungan (Kayon). Tetapi
di dalam buku ini Gunungan sengaja dimasukkan dalam kelompok wayang simpingan.
Gunungan Gapuran masuk simpingan kanan, Gunungan Blombangan masuh kelompok
simpingan kiri.
Adapun wayang
golongan ricikan yang dapat dikumpulkan dalam buku ini antara lain:
1.
Prampogan/Barisan prajurit ada 2 buah.
2. Kareta kendaraan raja ada 2 buah.
3. Kuda kendaraan
ada 2 buah.
4. Gajah
kendaraan ada 1 buah.
5. Gajah hutan/liar ada 1 buah.
6. Naga raja ada
1 buah.
7. Naga tanpa
jamang dan mahkota ada 1 buah.
8. Jatasura
(Banteng berkepala raksasa) 1 buah.
9. Banteng ada 2
buah.
10. Harimau ada 1 buah
11. Garuda ada 2 buah.
12. Gelas ada 1 buah.
13. Surat Kalimasada ada 1 buah.
14. Cupu manik ada 1 buah.
15. Kembang ada 2 buah.
16. Brayut ada 2 buah.
17. Rusa ada 1 buah
Demikian wayang
golongan ricikan yang dapat dibuat dan dikumpulkan dalam buku ini. Tentunya
masih banyak lagi kekurangan dari wayang golongan ricikan ini. Biasanya seorang
Dalang memiliki wayang-wayang jenis hewan dengan berbagai macam kreasinya,
khususnya untuk menunjang ramainya pakeliran. Hewan-hewan tersebut dikeluarkan
saat bodolan/keluarnya bala tentara raksasa, sehingga hewan-hewan tersebut
dikendarai para bala tentara raksasa. Disebutkan oleh Ki Dalang nama dari
beberapa binatang kendaraan para raksasa yaitu bilal, adal-adal, senuk,
memreng, warak, singa barong dsb.
XV. WAYANG GOLONGAN SENJATA.
Gambar-508: CAKRABASKARA, GUWAWIJAYA, SARUTAMA, NAGAPASA, KUNTAWIJAYADANU, PANAH BERANTAI, PASOPATI
Gambar-509: KERIS, PANAH, CADI, TRISULA, NENGGALA
Gambar-510: KEPALA JAYADRATA, CANDRASA, SURAT, BUNGA,
LIMPUNG DAN ALUGARA
Gambar-511: GADA, GADA BESAR, KENDAGA, BEDAMA, GADA
RUJAKPOLO, GADA WESIKUNING, GELAS, PAYUNG, SABIT, PEDANG DAN PETEL
Di bawah ini
disebutkan nama-nama, bentuk serta pemegang/pemilik senjata tersebut. Adapun
rinciannya sebagai berikut:
1. Cakrabaskara : Prabu Kresna
2.
Guwawijaya : Prabu Rama Wijaya
3. Nenggala : Prabu Baladewa
4. Alugara : Prabu Baladewa
5. Sarutama : Arjuna
6. Pasopati : Arjuna
7. Nagapasa : Indrajit
8. Panah Berantai : Indrajit
9. Kunta Wijayadanu
: Adipati Karna
10. Rujakpolo (gada) : Werkodara
11. Wesikuning (gada) : Setyaki
12. Wadung/kampak besar : Rama Bargawa/Parasu
Adapun senjata
lain bersifat umum, artinya dalam cerita keampuhannya tidak sama dengan
senjata-senjata yang disebutkan di atas. Demikian juga pemiliknya tidak
sekhusus tokoh-tokoh tersebut di atas. Senjata tersebut antara lain:
1. Candi 7. Curiga/keris biasa
2. Limpung 8. Patrem/keris kecil
3. Bedama 9. Bindi
4. Samoga/Trisula 10.
Anak panah
5. Piling 11.
Sabit
6. Curigaluk
(Cakil) 12.
Petel/Kapak
Demikian wayang
golongan senjata yang dapat dikumpulkan dalam buku ini. Tentunya ada salah satu
senjata yang dapat diberi nama tersendiri sesuai kebutuhan dalam lakon yang akan
dikelirkan. Sebagai contoh: "Kyai Cundamanik" dapat
digunakan salah satu dari senjata keris, “Pasopati” dapat digunakan
salah satu dari senjata panah, demikain juga yang lainnya. Tetapi di sini
ditunjukkan panah yang ujungnya mirip bulan sabit.
Demikian beberapa
wayang dalam kelompok dudahan yang merupakan akhir dari pembahasan "Wayang
Kulit Purwa Gaya Surakarta"
ini, walaupun belum sepenuhnya lengkap, mudah-mudahan dapat bermanfaat,
khususnya bagi para pencinta/penggemar wayang.
Terima kasih jadi lebih mengerti garis besar ilmu wayang purwa surakarta. terhadap cerita wayang india di layar tv, saya orang jawa anak 80 an , tidak mengerti bahasa dan cerita jawa.
BalasHapushebat,,,,,
BalasHapushebat,,,,, trimakasih bapak...
BalasHapushebat,,,,, trimakasih bapak...
BalasHapusGambar-gambar wayang yang di sebelah kanan mohon ditulis namanya siapa saja..sehingga menambah pengetahuan..
BalasHapusluar biasa.....
BalasHapusNggih , siip.matursuwun damel nambah wawasan wayang purwa
BalasHapus