Senin, 16 Juli 2012

Sampul



KATA PENGANTAR


            Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya karena telah berkesempatan membuat wayang kulit dengan mempola/corekan (bahasa Jawa) sendiri, yang hal ini merupakan kegemaran saya sejak saya masih anak-anak. Di samping kesempatan memfoto sekaligus membukukan. Walaupun ada juga beberapa wayang yang saya peroleh dari para seniman dan perajin wayang di daerah Surakarta dan Jakarta.

            Sepantasnyalah terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada:
Pertama, almarhum Ki Redigito, bapak saudara F.Sugiri (Museum SENAWANGI Jakarta Kota), yang telah banyak memberikan petunjuk dalam membuat pola/corekan di kulit sebelum ditatah.     
Kedua, saudara F.Sugiri sendiri, karena beliaulah saya berkesempatan memperoleh informasi-informasi dari kepustakaan wayang yang ada di museum SENAWANGI Jakarta Kota.
Ketiga, almarhum saudara Djumadi, penyungging wayang terbaik di Pasar Seni Jaya Ancol, karena beliaulah saya mendapatkan petunjuk dalam teknis penyunggingan wayang.
Keempat, saudara Biman, penyungging wayang terbaik di desa seni TMII, atas segala bantuannya dalam mencarikan penyungging dan cempurit/gapit wayang yang baik sehingga wayang ini selesai dibuat.
Kelima, para penatah (khususnya almarhum saudara Supardi) dan penyungging (saudara Sumanto, Kasidi, Hasan, Wadi, Maryadi dll) serta semua pihak yang telah membantu pembuatan wayang  kulit purwa gaya Surakarta ini.
Keenam,  saudara Nugrahani Indra S., S. Kom., ahli komputer di PERTAMINA Maritime Training Center, yang telah membantu memindahkan tulisan ini dari program Word Star ke program Office.

            Bahan-bahan yang dipergunakan dalam pembuatan wayang ini adalah:
Kulit kerbau, saya peroleh dari almarhum saudara Mardjijo, dukuh Gebangan, desa Nglebak, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta dan saudara Suprihono, Gendeng, Bangunjiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Cempurit tanduk kerbau bule saya peroleh dari almarhum saudara Redjo Ngalimin, dan putrinya mbak Awitini dukuh Kuwel, desa Keprabon, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.
Gegel Kuningan dan Tuding Bambu saya peroleh dari Ki Sutadi, desa Grasak, Gondang, Kabupaten Sragen.
Pewarna, cat air Sakura Poster Color dan bahan sablon dilarutkan dalam rakol cair.
Warna Emas, dari kepingan prada/kimpok (bahasa Cina), saya peroleh dari toko obat Cina, Bintang Terang, Glodok Jakarta Kota.

            Jumlah koleksi wayang ini sebanyak lebih dari 500 buah, di mana saya sendiri yang mengeluk, memasang cempurit/gapitnya. Dengan panjang simpingan lebih dari tujuh setengah meter di masing-masing sisi (pernah saya coba perdana dengan Dalang Ki Manteb Sudharsono), dan wayang-wayang ini akan saya tunjukkan seluruhnya dalam buku sekecil ini, di mana meliputi wayang-wayang simpingan dan dudahan, sehingga akan menambah tebalnya buku. Namun dari sejumlah itu, saya rasakan masih kurang lengkap. Mengingat banyaknya tokoh wayang yang belum sempat saya buat. Hal ini dikarenakan: dalam pakeliran-pakeliran wujud sebenarnya tokoh-tokoh wayang yang kurang banyak dikenal/kurang populer/kurang dianggap baku jarang dibuat orang dan jarang ditunjukkan dalam pakeliran sehingga saya sulit memperoleh bahan referensi (wayang-wayang tersebut sering digantikan wayang lain atau wayang srambahan, ujud sebenarnya tidak pernah ditampilkan di kelir). Walaupun tidak sedikit pula bahan referensi saya peroleh dari internet, face book dari para  Dalang, pemikir, kreator, penggemar dan pencinta wayang yang telah banyak menampilkan koleksi wayangnya sehingga saya dapat membuat sket/ corekan tokoh-tokoh yang demikian. Namun demikian saya masih harus banyak juga menafsirkan wayang-wayang yang tidak popular, wayang-wayang yang dalam cerita sekali keluar langsung mati. Di samping keterbatasan dana dan waktu pulalah yang mengharuskan saya terbatas juga dalam melengkapi jumlah wayang ini. Walaupun saya telah membuat wayang satu demi satu dalam waktu tidak kurang dari 30 tahun.

            Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian juga dalam buku ini. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun, saya terima dengan senang hati.




                                                                                         Jakarta, 16 Juli 2008
Penyunting:







 SUWADI KRIJO TARUNO





PENDAHULUAN


Pertunjukan wayang sampai kini telah berumur lebih dari 3000 tahun, karena timbulnya wayang pada sekitar 1500 sM,  demikian menurut Ir. Sri Mulyono. Bentuk wayang pada permulaannya tentunya tidak seperti bentuk wayang yang sekarang ini, maksud saya seperti bentuk wayang yang disajikan sebagai ilustrasi dalam buku ini. Sudah pasti dimulai dengan yang sangat sederhana dalam bahan maupun bentuknya, kemudian mengalami perubahan secara relatif pelan menjadi bentuk wayang yang disajikan dalam buku ini.

Dalam buku ini tidak dibahas tentang sejarah terjadinya dan perkembangan wayang dari awal mula hingga yang ada sekarang. Demikian juga tentunya ada wayang-wayang yang dibuat setelah bentuk wayang yang disajikan di sini. Oleh karena itu bila para pembaca ada yang berpendapat bahwa wayang-wayang yang disajikan sebagai ilustrasi buku ini tergolong wayang-wayang lama, tentunya pendapat yang demikian juga tidak salah. Walaupun sebenarnya wayang-wayang zaman Kartasura, Mataram, Pajang, dst, dibuat sebelum wayang-wayang ini. Karena sebagai contoh, dari segi bentuk muncullah "Wayang Ukur" yang diciptakan oleh Sigit Sukasman pada tahun 1974 di Yogyakarta, saya pernah melihat dan mengamati di Museum Wayang SENAWANGI Jakarta Kota. Adanya wayang Madya, wayang Wahyu, wayang Sadat, wayang Suluh, wayang Kancil, wayang Pancasila, dan mungkin masih ada yang lain lagi, semua ini dibuat pada masa setelah wayang purwa gaya Surakarta ini ada. Demikian juga saya pernah melihat dan mengamati wayang kulit gaya Surakarta, tetapi ornamen dalamnya telah ditatah dan disungging secara lebih lembut/halus tidak seperti ornamen wayang-wayang yang disajikan sebagai ilustrasi buku ini. Wayang yang demikian itu pernah saya lihat dan amati pada wayang koleksi Prof. DR. Soedjarwo mantan menteri kehutanan. Wayang tersebut sering dipergunakan pada pergelaran yang sering diadakan di Jakarta. Berdasarkan bahan yang dipergunakan,  wayang ini adalah wayang kulit, karena dibuat dari kulit kerbau yang dikeringkan, dikupas/dikerok bulunya, dipotong-potong, ditatah/dipahat dan disungging/diwarnai. Karena selain kulit kerbau ada wayang yang dibuat dari bahan kayu, misalnya: wayang krucil, wayang gedog, wayang purwa kayu, wayang golek cupak, wayang golek pasundan dan sebagainya. Wayang yang dibuat dari kain disebut wayang beber. Di samping ada wayang yang dibuat dari daun tal, yang merupakan permulaan wayang dibuat orang, demikian menurut R.M.Sayid. Menurut kisah yang dikelirkan, wayang-wayang dalam buku ini adalah wayang purwa, yaitu wayang yang dipergunakan untuk memperkelirkan cerita-cerita dalam  Serat Pustakaraja Purwa, Ramayana  dan Mahabarata. Karena selain wayang Purwa ada juga wayang Gedog dan wayang Madya. Wayang Gedog dipergunakan untuk memperkelirkan cerita Panji. Sedangkan Wayang Madya dipergunakan untuk  memperkelirkan cerita setelah wayang purwa, cerita setelah selesai perang Baratayuda, dari Prabu Parikesit hingga Prabu Jayabaya di Penjalu/Jenggala. Sehingga cerita dalam wayang madya merupakan sambungan dari wayang purwa, cerita dalam wayang gedog merupakan sambungan dari wayang madya. Di samping adanya wayang Menak, wayang Sadat, wayang Pancasila, wayang Potehi, wayang Suluh, wayang Wahyu, wayang Kancil dan sebagainya yang memang tidak ada hubungan cerita dengan wayang Purwa ini. Gaya atau gagragnya adalah Surakarta, karena ada wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, Banyumasan, Pesisiran, Cirebonan, Betawi, Jawa Timuran, Bali, Sasak, Palembang, Banjar dan sebagainya. Oleh karena itu, isi buku ini masih membatasi diri hanya dalam lingkup  Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta.

Pertunjukan wayang sampai saat sekarang masih tetap mendarah daging, tetap digemari dan dihayati serta dijunjung  tinggi oleh masyarakat, karena pertunjukan wayang itu berisi hal-hal yang masih diperlukan dalam kehidupan manusia. Baik dalam lapangan keduniaan (lahiriah) maupun dalam lapangan mental (bathiniah). Demikian menurut Ir. Sri Mulyono. Walaupun pendapat ini sebenarnya kontroversial, namun rasanya saya cenderung terpengaruh oleh pendapat Ir. Sri Mulyono tersebut di atas. Kalaupun dewasa ini ternyata sudah jarang ada pergelaran wayang kulit, kalaupun ada penonton atau penggemarnya sudah jarang. Hal ini sebenarnya tidak disebabkan oleh karena wayang sudah tidak digemari masyarakat lagi, tetapi hal ini disebabkan adanya perubahan, perkembangan pengetahuan dan kualitas masyarakat itu sendiri, sehingga pementasan pergelaran wayang kulit pun dituntut harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat tadi. Penonton atau penggemar wayang pada zaman Majapahit tentunya pandangan hidupnya, keadaannya, kualitasnya berbeda dengan penonton atau penggemar wayang  pada zaman Sultan Agung di Mataram. Apalagi jika dibandingkan dengan penonton atau penggemar wayang pada zaman globalisasi informasi sekarang ini. Karena menurut pengamatan saya, pergelaran wayang yang disesuaikan sarana dan tehnik pergelarannya yang meliputi sistem cahaya dan suara, jumlah wayang yang lengkap dengan kelir dan gawangan yang cukup artistik, simpingan wayang yang cukup panjang, gamelan lengkap pelog sledro ditambah bedug tambur terompet dan mungkin instrumen musik lainnya, para nayaga dan pesiden yang terampil menguasai segala gending dan mungkin lagu-lagu populer, pergelaran dibawakan oleh Dalang yang kaya akan sanggit dan kreatifitas, aspiratif dan komunikatif dengan penonton, terampil dalam sabetan (menggerakkan wayang), ternyata masih membanjir juga penonton atau penggemarnya. Baik pergelaran itu diadakan di desa-desa maupun di kota-kota, bahkan di ibu kota Jakarta sekalipun. Menurut pengakuan Ki H.Anom Suroto Lebdo Carito dalam kaset rekamannya, di luar Jawa pun banyak yang menonton sampai pergelaran selesai, walaupun mereka mungkin tidak mengerti bahasa Jawa.
            Karena dalam pertumbuhannya, fungsi wayang juga telah mengalami perubahan. Sejak dari fungsi sebagai alat suatu upacara yang ada hubungannya dengan kepercayaan (magis religius) hingga menjadi alat pendidikan yang bersifat didaktis dan sebagai alat penerangan lalu menjadi bentuk kesenian daerah dan kemudian menjadi obyek ilmiah, demikian menurut Ir. Sri Mulyono. Walaupun dalam pekan wayang Indonesia ke VI tahun 1993 di Jakarta ada juga pakar yang berpendapat bahwa wayang hanya berhenti sebagai tontonan saja. Namun demikian saya tetap berkeinginan untuk menunjukkan bentuk-bentuk tokoh wayang yang saya miliki, yang mungkin paling tidak dapat mengisi sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat pewayangan.

Walaupun banyak buku tentang wayang yang mengungkapkan  filsafatnya, ceritanya, sejarahnya, seni pedalangannya maupun seni kriyanya, namun masih sedikit yang menyajikan foto wayang dengan corekan/sket/pola yang dibuat oleh penulisnya sendiri, khususnya wayang kulit purwa gaya Surakarta ini. Di samping saya merasa terpengaruh oleh optimisme Ir. Sri Mulyono bahwa wayang akan menjadi milik jagad hingga orang semesta buana akan mempelajari dan mendalami wayang. Dengan terselenggarakannya festival gamelan Internasional pada tanggal 29 Desember 1995 di taman wisata candi Prambanan Yogyakarta, kiranya tidak mustahil fenomena yang sama terjadi pada wayang. Ternyata pada tahun 2003 badan dunia PBB melalui UNESCO telah memberikan penghargaan kepada Wayang Indonesia sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of humanity atau Warisan Budaya Dunia yang luar biasa.

Dari inspirasi inilah timbul keberanian saya dengan segala keterbatasan saya menyajikan buku ini yang merupakan kumpulan dari apa yang pernah saya gemari, amati dan pelajari dari sumber-sumber terkait sedari saya masih anak-anak, walaupun penelitian dan pengamatan langsung pada wayang-wayang pusaka keraton Mangkunegaran belum pernah saya lakukan. Oleh karena itu saya sadar bahwa pengetahuan di bidang wayang kulit gaya Surakarta ini masih belum memadai dibandingkan dengan luasnya pengetahuan wayang kulit yang sebenarnya, khususnya wayang kulit purwa gaya Surakarta ini. Untuk itu apa yang disajikan di sini, hanyalah merupakan kesan pribadi saya.

Wayang satu kotak sebenarnya cukup sebanyak lebih kurang 200 saja, tetapi karena adanya wanda wayang yang lebih dari satu, semua tokoh dibuat sehingga boleh dikatakan tanpa ada tokoh wayang yang dipinjamkan atau digantikan tokoh wayang lain, maka jumlah tersebut dapat lipat dua kali atau lebih. Apalagi bila tokoh wayang Korawa seratus benar-benar dibuat, hal tersebut pernah dinyatakan oleh Ki Manteb Sudharsono dalam pergelaran di museum Purnabakti TMII. Menurut R.M.Sayit, jumlah wayang  Sebet ciptaan Mangkunegara IV, 418 buah. Walaupun dalam suatu pergelaran yang disediakan seperangkat wayang yang lengkap, baik tokoh-tokoh wayangnya maupun wandanya, namun masih jarang seorang Dalang mengeluarkan wayang dengan tokoh yang sebenarnya, apalagi wanda wayang yang memang cocok dan sesuai dengan kondisi atau suasana jalannya cerita. Yang saya maksudkan di sini adalah seumpamanya tokoh wayang Batara Bayu ada janganlah digantikan dengan Tuguwasesa. Seumpamanya tokoh wayang Prabu Parikesit, Sasikirana, Suryakaca, Jayasumpena, Janurwenda, Sangasanga, Dwara, Arjunapati, Suwarka, disediakan, janganlah digantikan dengan tokoh wayang baku semacam Prabu Rama Wijaya, Gatotkaca, Antareja, Antasena, Setyaki, Gunawan Wibisana, Bomanarakasura dan sebagainya. Janganlah menggunakan wayang baku untuk menggantikan tokoh-tokoh lain. Jangan menggunakan Denawa Patih untuk tokoh Rukmuka dan Rukmakala dalam lakon ”Dewa Ruci” atau Ditya Wilkataksini dalam lakon ”Anoman Duta”. Penggantian yang demikian dapat menimbulkan kekecewaan pada penonton wayang yang benar-benar memahami wayang, di samping menimbulkan kekeliruan pemahaman bagi penonton wayang yang benar-benar atau kurang memahami wayang. Karena kekhawatiran inilah mungkin dapat meningkatkan motivasi kepada diri saya untuk membuat wayang secara lengkap. Namun keterbatasan dana, waktu, kesempatan dan besarnya/prosentase tanggung jawab saya terhadap dunia pewayangan sangat menentukan hasil karya saya. Semestinya keinginan yang demikian akan lebih berhasil apabila dilakukan oleh para Dalang yang dekat di hati pencinta wayang dan pembuat wayang yang memiliki cukup dana, serta pemerintah yang tidak kalah pentingnya dalam peran memberikan dorongan dan pembinaan maupun pemberian subsidi kepada para penatah dan penyungging wayang di seluruh Indonesia. Begitu juga dalam suasana sedih, gembira, ragu, kaget, marah, tua, muda, dan lainnya, tentunya tokoh wayang yang dikeluarkan seharusnya berbeda walaupun namanya satu. Inilah sebenarnya kegunaan dari pada dibuatnya bermacam-macam wanda. Namun karena para Dalang mungkin cenderung mementingkan  kriteria  "cepengan" (bahasa Jawa),  artinya  enak dipegang/digerakkan dan mungkin wayang-wayang tersebut milik pribadi Dalang. Maka perihal pengeluaran tokoh wayang yang benar dalam arti nama maupun wanda masih banyak diabaikan oleh para Dalang. 

Dalam seperangkat satu kotak wayang, menurut letak di pakeliran dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu "wayang simpingan" dan "wayang dudahan". Wayang simpingan disebut juga wayang sumpingan atau wayang panggungan, artinya wayang yang pada waktu pakeliran diletakkan berjejer pada geber (kelir) ditancap tegak pada batang pisang di sebelah kiri dan kanan Ki Dalang. Sedangkan wayang dudahan adalah wayang yang pada waktu pakeliran diletakkan tetap di dalam kotak di sebelah kiri dan eblek di sebelah kanan Ki Dalang.

Wayang simpingan dibagi menjadi dua yaitu "simpingan kiri" dan  "simpingan kanan". Wayang-wayang simpingan sebelah kiri banyak didominasi wayang-wayang yang bermuka disungging warna merah. Berbeda dengan wayang-wayang simpingan kanan yang banyak didominasi muka warna hitam. Pada simpingan kiri banyak wayang yang bermulut prengesan atau gusen, gusen bertaring, wayang yang bermulut  ngablak/terbuka/menganga nampak gigi-gigi dan taringnya. Sedangkan di simpingan kanan tidak terdapat bentuk mulut yang demikian, sebagian besar "keketan". Demikian juga wayang simpingan kiri banyak bermata jenis "plelengan", "kedelen", walaupun ada juga yang bermata "liyepan"/"gabahan"/"jahitan", sama dengan simpingan kanan. Lebih khusus lagi di simpingan kanan banyak wayang bermata "telengan", artinya bentuk mata bulat seperti "plelengan", tetapi tidak nampak kelopak matanya. Jenis kelamin laki-laki semua, kecuali Batari Durga, sedangkan beberapa wayang putren (wanita) hanya disimping di sebelah kanan. Wayang simpingan kiri banyak yang berhidung bentuk "nyantik palwa"/"haluan perahu", "mungkal gerang" atau "dempak", sedangkan di simpingan kanan banyak yang berhidung mancung. Dari sudut karakteristik wayang-wayang yang disimping di sebelah kiri banyak menunjukkan watak angkara murka, beringas, mudah marah, kurang tahu akan nilai-nilai kebaikan, tidak segan melanggar nilai-nilai kebaikan, kurang bertanggung jawab, suka berbalas dendam dan sebagainya. Berbeda dengan wayang-wayang yang disimping di sebelah kanan banyak menunjukkan tokoh berwatak berbudi luhur, bijaksana, sabar, bertanggung jawab, sentosa mawas diri, tenang dan sebagainya. Oleh karena beberapa perbedaan tersebut di ataslah, maka tidak aneh bila ada beberapa pakar yang menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan yang sudah mapan adalah sangat harmoni, sangat hitam putih, sangat mengkutub. Oleh karena pengelolaan konflik berdasarkan harmoni hanya memadai dalam kondisi sosial yang ditandai oleh keadilan dan stabilitas. Tetapi tatanan stabil tradisional yang adil itu tidak ada lagi. Karena itu identifikasi pewayangan dengan kedok harmoni perlu dibuka. Keberanian, kemandirian dan tanggung jawab pribadi yang berorientasi pada kejujuran dan keadilan adalah sikap yang dituntut sekarang. Sehingga dengan demikian apakah nilai-nilai harmoni pewayangan perlu ditinggalkan dan tidak perlu dilestarikan lagi. Namun perlu juga ditunjukkan di sini, bahwa masih banyak pula para pakar yang menyatakan dalam kebenaran hakiki selalu terkandung sisi baik di balik sisi jahat para tokoh. Tidak ada salahnya belajar melihat sisi baik di balik sisi jahat. Saya sendiri memiliki keyakinan bahwa timbulnya yang abu-abu itu berkat adanya yang hitam dan putih tentunya. Memang dalam etika wayang yang sudah mapan, tentunya masih kita jumpai: "sapa sing tumemen bakal ketemu", "ngunduh wohing pakarti", "sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti", "tan hana dharma mangrawa" dan sebagainya. Walaupun dalam kehidupan nyata, kadang-kadang masih dijumpai nilai-nilai pewayangan dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan dan memperkokoh status quo, sekedar untuk alat orasi dan retorika, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya kejahatan yang berslogan kebaikan, kedurhakaan berselubung kesalehan, kezaliman berkedok kebijakan, kecurangan berdalih kejujuran, penindasan bertopeng belas kasihan, namun kebenaran hakiki tetap ada. Cepat atau lambat kejahatan tetap kejahatan, kebaikan tetap kebaikan. Kecurangan dapat disulap menjadi kejujuran sementara, namun tidak akan dapat disulap menjadi kejujuran selama-lamanya. Dalam kehidupan nyata, khususnya dalam tatanan masyarakat yang belum adil dan setengah modern atau mungkin modern, demi memperoleh suatu keuntungan tertentu, seseorang dapat menyamar atau mengidentitaskan dirinya sebagai Pandawa yang berbudi luhur, mawas diri, bijaksana, selalu ingin memelihara ketenteraman dunia, tidak mengumbar segala hawa nafsu, membela dan melindungi kaum lemah dan sebagainya. Oleh karena itu bukan berarti nilai-nilai pewayangan yang harus dibuka dan dibongkar. Tetapi yang lebih penting lagi adalah  bagaimana identitas Pandawa tersebut jangan sampai digunakan oleh Korawa. Atau paling tidak penyamaran tersebut cepat terbongkar, cepat diketahui oleh masyarakat luas. Sehingga kiranya kurang tepat bila nilai-nilai pewayangan divonis terlampau hitam-putih, sangat harmoni atau sangat mengkutup. Yang jelas semua ini tergantung bagaimana konteks yang ada. Memang dalam cerita-cerita Ramayana mungkin masih banyak nampak nilai-nilai hitam putihnya, namun dalam Mahabarata banyak sekali kebimbangan, keraguan, keabu-abuan (bukan hitam bukan putih). Kebimbangan nilai-nilai tersebut tercermin dalam kisah tokoh-tokoh seperti Kumbakarna, Gunawan Wibisana, Adipati Karna, Puntadewa dalam permainan dadu dan sebagainya.     

Sebenarnya saya bukan bermaksud menguraikan wayang kulit purwa gaya Surakarta ini dengan pendekatan filsafati, khususnya filsafat tingkah laku atau etika, di mana penuh dengan sisi kontroversial, apalagi bila diulas oleh seorang yang berada di luar kehidupan penghayatan budaya wayang yang Jawais, mereka hanya sekedar sebagai pengamat peneliti etika wayang. Dalam hal ini bukan berarti saya tidak menyukai inovasi dan berniat mengecilkan peranan para pakar tersebut. Namun karena saya lahir dibesarkan dan dipengaruhi oleh masyarakat yang berkebudayaan Jawa agraris, kiranya sangat sadar sedalam-dalamnya bahwa dalam sanubari saya mengalir dengan pekat dan deras nilai-nilai "tan hana dharma mangrawa", "wong cidra mangsa langgenga", "sing becik ketitik sing ala ketara", "ngundhuh wohing pakarti". Sehingga kelicikan Patih Sengkuni untuk memenangkan Korawa tentunya tidak sama dengan kearifan dan kebijakan Prabu Kresna untuk memenangkan Pandawa. Saya pandang sangat berbahaya sekali apabila Patih Sengkuni dan Prabu Kresna, Korawa dan Pandawa, Rahwana dan Arjuna Sasrabahu atau Rama Wijaya kemudian bergeser menjadi dua kutub yang tidak antagonis. Kalau pendapat yang demikian terjadi sebenarnya hanya salah pemahaman bagi para pakar pengamat etika wayang. Apalagi jika obyek-obyek pengamatannya mungkin kurang akurat dikarenakan pengamatan pada pergelaran dengan Dalang yang kurang tepat dalam sanggit, sehingga bisa saja terjadi pengubahan atau penggeseran patokan baku nilai moral. Karena ketatnya persaingan, banyak para Dalang yang ingin tampil beda sengaja mengubah karakter tokoh tertentu sehingga terlalu jauh menyimpang dari patokan baku moral wayang. Tokoh-tokoh Pandawa dibuat berseloroh seperti dagelan atau punakawan, hanya sekedar untuk tampil beda dengan Dalang-Dalang lainnya, hanya sekedar untuk memperoleh kepopuleran pribadi pionir perubahan, bukankah tokoh Pandawa ini harus kita tempatkan untuk melambangkan kejujuran, budi-luhur, bijaksana, membela yang tertindas, hidup sederhana dan sebagainya. Tokoh Batara Kresna ditempatkan sebagai orang yang tidak bersih, sebagai tokoh yang disudutkan karena kesalahannya. Bukankah ini dapat menyinggung kelompok masyarakat yang meyakini bahwa Mahabarata merupakan tunutunan hidupnya. Kiranya ada benarnya apa yang dikatakan oleh seorang Dalang dalam rekamannya, bahwa wayang dapat diibaratkan sebagai kawat sampiran (kawat gantungan). Sehingga dalam pakeliran akan digantungi apa pun bisa, akan dibebani pesan apa pun boleh, akan dimasuki misi apapun bisa, tergantung pada kesanggupan dan kemahiran Ki Dalang tentunya. Dengan semakin kontroversialnya, semakin beragamnya pendapat para pakar, sanubari saya lebih tergugah untuk melengkapi, menambahkan kepustakaan wayang dalam bentuk kumpulan wayang-wayang simpingan kiri, kanan dan dudahan ini. Karena analisa dengan pendekatan filsafat bukan bidang saya, apa pun pendapat para pakar adalah sesuatu yang saya anggap wajar, efektif atau tidaknya wayang sebagai sarana pendidikan budi pekerti, perlu atau tidaknya orientasi wayang dibongkar kiranya masyarakat beserta para pakar dan tokoh pewayangan sendirilah yang dapat menjawabnya. Anggaplah semua ini merupakan suatu tantangan bagi masyarakat pewayangan yang perlu segera dijawab dalam arti bebas dari sektarianisme, bila mungkin dalam arti universal. Namun ada pakar yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat dalam pewayangan memang harus ada, jadi tidak perlu harus sama. Sebab pengamatan antar individu bersifat subyektif relatif, tergantung kemampuan, pengalaman, ketajaman penalaran dan intuisi seseorang. Karena saya mungkin hanya kelompok kaum mapan yang menjunjung tinggi seni budaya wayang sebagai seni budaya yang adi luhung. Oleh karena itu saya sadar sedalam-dalamnya bahwa pembahasan atau analisa masalah "nilai" (termasuk di dalamnya nilai-nilai pewayangan) sangat berbeda dengan "fakta". Karena "fakta" berbentuk kenyataan (konkrit), sehingga keberadaannya dapat diuji, karena fakta dapat ditangkap oleh panca-indera. Sedangkan "nilai" (khususnya nilai-nilai pewayangan) berbentuk "ide" (abstrak), sehingga eksistensinya tidak mungkin diuji baik dan buruknya, betul dan salahnya. Melainkan hanya dapat dihayati.  Sedangkan penghayatan atas sesuatu hanya dapat dicapai dengan cara merenungkan sesuatu itu sedalam-dalamnya melalui pertimbangan. Yang jelas apabila nilai-nilai pewayangan masih dapat digunakan sebagai landasan etika moral, tentunya kita dapat menanyakan pada diri masing-masing, apakah yang kita perbuat di dunia selama ini sebagai Rahwana, Sengkuni, Durna, Korawa atau Gunawan Wibisana, Adipati Karna, Kumbakarna, Bambang Sumantri atau Arjuna Sasrabahu, Rama Wijaya, Kresna, Yudistira atau campuran di antara tokoh-tokoh tersebut.
 
Dalam buku ini sistematika penyajiannya dimulai dari wayang dengan ukuran paling tinggi/paling kiri atau paling kanan ke arah yang paling kecil. Karena dalam pakeliran simpingan diatur demikian rupa berurutan dari wayang yang berukuran besar tinggi ke dalam ke arah wayang yang terkecil. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keindahan, simpingan yang tidak berurutan tinggi rendahnya ukuran wayang disebut bejujag (bahasa Jawa). Demikian sistematika penyajian untuk wayang-wayang simpingan. Untuk wayang-wayang dudahan akan disajikan secara kelompok demi kelompok, tanpa pertimbangan tinggi rendahnya dan besar kecilnya wayang. Karena saat pakeliran wayang-wayang dudahan tetap berada dalam kotak, tidak terlihat oleh penonton, kecuali Ki Dalang menghendaki demi jejeran/adegan tertentu.

Telah beberapa kali saya sebutkan di atas alasan-alasan penulisan buku ini, namun secara eksplisit diharapkan buku ini bermanfaat bagi para peminat, khususnya bagi mereka yang mengetahui cerita wayang, tetapi belum tahu bentuk dari wayangnya atau mungkin sebaliknya. Di samping dapat mengisi sela-sela kebutuhan masyarakat pewayangan, mungkin dapat merangsang timbulnya kreasi-kreasi baru dalam seni kriya wayang. Kalaupun tidak dikatakan berlebihan, mudah-mudahan buku ini dapat juga membantu melestarikan dalam bentuk dokumentasi seni budaya wayang kulit purwa yang pernah ada di bumi Nusantara ini, khususnya wayang kulit purwa gaya Surakarta. Memang banyak cara untuk mempelajari wayang, namun menurut hemat saya untuk lebih cepat memahami dengan waktu lebih singkat, biaya relatif ringan, di antaranya masyarakat dapat mempelajari dalam bentuk tulisan atau buku semacam ini. Istilah-istilah yang dipergunakan dalam buku ini, khususnya rincian bagian dalam wayang banyak mengutip istilah-istilah dari buku-buku tentang seni kriya (tatah sungging) wayang. Oleh karena itu bagi pembaca yang benar-benar awam dalam peristilahan tersebut, saya anjurkan membaca buku-buku tentang seni kriya (tatah sungging) wayang. Karena dalam buku ini diusahakan untuk tidak terlampau banyak mengulang dan mengutip sesuatu yang pernah disajikan dalam buku-buku lain, maka dengan sengaja tidak dijelaskan di sini. Istilah-istilah yang saya maksudkan antara lain: rincian dari bagian-bagian wayang, jenis dan bentuk hidung, mulut, mata, kepala, tangan, badan, kaki, pakaian dan sebagainya.

Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan sebagai pendahuluan, guna memandu pembaca, sehingga saya harapkan pembaca dapat dengan mudah memahami isi buku ini.      

Daftar Isi






DAFTAR NAMA-NAMA WAYANG MENURUT ABJAD






Simpingan Kiri

1. BRAHALA.

 Gambar-1: BRAHALA MAKUTAN


 Gambar-2: BRAHALA RAMBUT TERURAI
Wayang ini dikeluarkan saat sang tokoh sedang triwikrama karena telah habis kesabaran dan kebijaksanaannya sehingga nafsu amarahnya memuncak. Disebut juga Brahalasewu atau Balasewu. Tokoh-tokoh yang dapat bertriwikrama menjadi Brahalasewu adalah Batara Guru, Batara Ismaya, Batara Wisnu, Prabu Arjuna Sasrabahu, Prabu Kresna, Prabu Darmakusuma dan mungkin masih ada yang lain lagi.

Batara Guru dan Batara Ismaya bertriwikrama terjadi dalam lakon carangan seperti lakon Kresna Boyong, Pandawa Maneges dsb, dapat didengarkan dalam kaset rekaman wayang yang dibawakan oleh seorang Dalang yang sudah cukup terkenal.

Semua wayang yang menjadi titisan Batara Wisnu dapat bertriwikrama, sebagai contoh: Prabu Arjuna Sasrabahu saat berperang menghadapi Bambang Sumantri dalam lakon Sumantri ngenger atau Prabu Arjuna Sasrabahu saat membendung muara sungai Gangga dalam lakon Arjuna Sasra Cangkrama Samudra. Prabu Kresna dalam lakon Kresna Gugah dan Kresna Duta. Demikian juga Prabu Darmakusuma raja Amarta, apabila dalam keadaan terdesak, kesabaran dan kebijaksanaan tidak mampu lagi untuk menyelesaikan pertikaian maka bertriwikramalah menjadi raksasa yang besar sekali dan mengerikan yang disebut Brahalasewu. Namun dalam buku ini ditunjukkan dua jenis Brahala masing-masing dua wayang. Jenis pertama Brahala yang berwujud Buta Raton dengan ukuran lebih besar disungging warna putih dan berwujud raksasa berambut terurai/gimbal (bahasa Jawa) disungging warna emas/prada untuk Brahala Darmakusuma yang terkenal berdarah putih. Yang kedua Brahala yang berwujud Buta Raton berukuran besar disungging warna hitam dan berwujud raksasa berambut terurai/gimbal muka disungging warna merah. Karena dalam suatu lakon ada kemungkinan harus mengeluarkan dua Brahala, yang satu Brahala Prabu Kresna, dan yang satu Brahala Prabu Darmakusuma yang datang bersama-sama kekayangan Suralaya menghadap Batara Guru untuk menuntut keadilan, maka di sini disajikan dua jenis Brahala. Namun untuk simpingan kiri ditunjukkan Brahala Buta Raton ukuran besar yang disungging warna putih dan Brahala raksasa rambut gimbal dengan badan disungging warna emas/prada, muka disungging warna merah. Selainnya akan disajikan dalam simpingan kanan, karena warna sunggingan hitam dan gemblengan/prada.

  

2. BUTA RATON.

 Gambar-3: BUTA RATON MUKA DISUNGGING WARNA MERAH



 Gambar-4: BUTA RATON MUKA DISUNGGING WARNA PRADA (EMAS)

 
 Gambar-5: BUTA RATON MATA MORGAN

 
 Gambar-6: BUTA RATON MATA KELIPAN
Buta Raton artinya Raksasa Raja. Wayang ini dalam pakeliran mempunyai banyak sekali nama. biasanya menggambarkan seorang raja yang berwujud raksasa, berwatak angkaramurka, oleh karena itu muka disungging warna merah. Kecuali untuk tokoh Kumbakarna biasanya muka disungging warna prada, namun jika wayang yang demikian tidak tersedia digunakan juga Buta Raton yang mukanya disungging warna merah, atau semua ini tergantung pada selera Ki Dalang. Karena tujuan pokoknya untuk menunjukkan bahwa Raden Kumbakarna ini walaupun berwujud raksasa besar, masih berwatak ksatria. Terkenal dalam serat Tripama karya Sri Mangkunegara IV. Karena Raden Kumbakarna berperang melawan bala tentara Sri Rama bukan untuk membela kakaknya Prabu Rahwana, tetapi dia berperang hanya untuk membela tumpah darahnya atau tanah airnya. Karena Raden Kumbakarna tahu bahwa pihak kakaknya prabu Rahwana yang salah, sedangkan Sri Rama yang titisan Batara Wisnu berada dipihak yang benar. Nama-nama Buta Raton yang sering disebutkan dalam pakeliran antara lain:

PRABU KALA TREMBOKO.
Prabu Kala Tremboko dalam Ensiklopedi disebut juga Prabu Arimbaka. Ia adalah seorang raja raksasa di kerajaan Pringgandani. Permaisurinya bernama Handiba. Putra-putranya adalah: Arimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa dan Kala Bendana. Menurut Ki Narto Sabdho masih ada putra dari selir yang bernama Haribawana yang berupa raksasa juga. Prabu Kala Tremboko menang dalam peperangan melawan Prabu Bomantara raja negara Prajatisa, sehingga negara tersebut menjadi taklukannya dan tampuk pimpinan negara diserahkan kepada Prabu Narakasura penggantinya.
Prabu Kala Tremboko binasa dalam peperangan menggempur negara Astina melawan Prabu Pandudewanata dalam lakon perang Pamuksa. Prabu Kala Tremboko melawan Prabu Pandudewanata karena ingin mati di tangan manusia yang tahu sastrajendrahayuningrat, sehingga beliau dapat mati sempurna.  

PRABU GORAWANGSA.
Prabu Gorawangsa adalah raja negeri Bombawirayung. Dia dapat berubah rupa menjadi Prabu Basudewa raja Mandura, karena diketahui Prabu Basudewa sedang berburu ke hutan, sehingga dapat bermain asmara dengan Dewi Maherah permaisuri Prabu Basudewa.
Karena bantuan Prabu Pandudewanata, Prabu Gorawangsa dapat dibinasakan. Hasil permainan asmaranya dengan Dewi Maherah melahirkan Raden Jaka Maruta atau Kangsa Dewa yang kemudian menuntut ingin diangkat menjadi putra mahkota negara Mandura. Bentuk wayangnya juga salah satu dari beberapa wayang Buta Raton ini.

PRABU BAKA.
Prabu Baka adalah raja negeri Ekacakra. Ia suka memakan orang. Rakyatnya secara bergilir diwajibkan memberi upeti berupa orang seorang ditambah nasi segerobak. Prabu Baka binasa oleh Raden Bratasena pada saat Para Pandawa tinggal dinegara Ekacakra setelah lakon Bale Sigalagala, menumpang pada seorang Brahmana yang bernama Resi Japa. Karena Resi Japa sekeluarga mendapatkan giliran untuk memberikan upeti manusia dan nasi segerobak, maka resahlah keluarganya sehingga istrinya menangis. Karena tangisnya didengar oleh Dewi Kunti, maka ditolonglah Resi Japa dan keluarganya. Akhirnya Raden Bratasenalah yang akan menjadi ganti keluarga Resi Japa. Esok harinya membawa nasi segerobak ke depan Prabu Baka. Nasi tadi tidak diberikan Prabu Baka, melainkan dimakan sendiri oleh Raden Bratasena. Prabu Baka marah sekali, sehingga terjadilah perkelaian yang amat seru. Prabu Baka mati terbunuh oleh Raden Bratsena, amanlah negara Ekacakra bebas dari ancaman rajanya. Lakon ini pernah terlihat pada pergelaran wayang di museum keprajuritan TMII dengan Dalang yang sudah cukup terkenal dengan lakon Bale Sigalagala. Wayang Buta Raton inilah yang dipergunakan sebagai Prabu Baka.

PRABU DITYA YUDAKALAKRESNA.
Prabu Ditya Yudakalakresna adalah raja raksasa negara Dwarawati yang terakhir, karena penggantinya tidak berwujud raksasa lagi. Dalam kaset rekaman wayang yang dibawakan oleh seorang Dalang yang sudah cukup kondang dalam lakon Narayana Krida Brata, diceritakan bahwa Prabu Ditya Yudakalakresna mati oleh jago-jago Dewa, yaitu Raden Narayana dan Raden Permadi, karena ingin menyerang Kahayangan Suralaya. Namun pernah terlihat dalam suatu pergelaran tokoh Prabu Ditya Yudakalakresna digunakan wayang Buta Raton dengan sunggingan warna hitam.

PRABU HARIMBA.
Prabu Harimba kakak Dewi Arimbi dapat ditafsirkan sebagai Buta Raton dengan mata sipit besar/kelipan. Prabu Harimba mati terbunuh dan hancur dihantamkan pohon enau oleh Raden Bratasena pada waktu menyerang Pandawa yang sedang mengembara di hutan dekat negara Pringgandani yang menjadi kekuasaannya.

PRABU NIWATAKAWACA.
Prabu Niwatakawaca adalah raja negeri Imaimantaka atau Manikmantaka. Semula ia tidak berwujud raksasa, karena pergi bertapa untuk mendapatkan kesaktian agar dapat mengalahkan Dewa di Suralaya dan dapat mempersunting bidadari Dewi Supraba, setelah memperoleh kekebalan ia menjadi raja raksasa sangat sakti. Ia tidak dapat mati bila noktah belang yang berada di langit-langit mulutnya tidak terkena senjata. Ia kemudian meminang Dewi Supraba menyerang Suralaya, namun akhirnya dapat dikalahkan dan dibinasakan oleh Begawan Ciptaning Mintaraga atau Raden Arjuna. Biasanya wayangnya digunakan Buta Raton yang kedua matanya nampak.

PRABU KALA PRACONA.
Prabu Kala Pracona adalah raja raksasa negara Tasikwaja, ada juga yang menceriterakan raja negara Gilingwesi. Dalam lakon lahirnya Gatotkaca diceritakan bahwa Prabu Kala Pracona ingin memperistri seorang bidadari Suralaya bernama Dewi Gagarmayang. Karena lamarannya ditolak, maka ia memerintahkan patihnya bernama Sekipu yang berwujud raksasa juga untuk menyerang para Dewa di Suralaya. Walaupun Dewa Suralaya meminta bantuan para Pandawa, namun kekuatan seimbang. Akhirnya Raden Gatotkacalah yang menjadi jago para Dewa dan dapat membinasakan Patih Sekipu berserta bala tentaranya, begitu juga Prabu Kala Pracona tewas oleh tangan Raden Gatotkaca. Wayang yang dipakai sebagai Prabu Kala Pracona biasanya juga Buta Raton ini. Demikian beberapa contoh dari nama-nama Buta Raton dengan kisah singkatnya. Adapun mungkin masih banyak lagi nama-nama lain yang sering disebutkan oleh Ki Dalang dalam pakeliran. Di dalam buku ini telah disajikan empat Buta Raton dengan satu wayang yang sengaja disungging  gemblengan (warna prada seluruhnya) yang mungkin bisa dipergunakan sebagai tokoh Raden Kumbakarna.


4. BATARA KALA.

 Gambar-7: BATARA KALA
Batara Kala disebut juga Kamasalah. Ia anak Batara Guru yang terjadi dari kama yang jatuh di tengah  Samudra. Pada waktu Batara Guru bersama permaisurinya Dewi Uma berkeliling jagad tepat di atas Samudra timbul nafsunya untuk berhubungan layaknya suami istri. Karena Dewi Uma menolak maka terjatuhlah kama Batara Guru di tengah Samudra, yang menyebabkan mendidihnya air Samudra disertai suara gemuruh dan menimbulkan hawa panas yang menggegerkan para Dewa dan Dewi di Kahayangan. Bersamaan dengan keadaan itu muncullah di tengah-tengah Samudra suatu bentuk/wujud raksasa yang sangat besar dan mengerikan yang kemudian menyerang para Dewa. Karena para Dewa tidak sanggup menandingi raksasa tersebut, maka sampailah raksasa itu menghadap Batara Guru, untuk menanyakan siapa ayahnya. Oleh Batara Guru diaku sebagai anaknya dengan kedua caling/taringnya dicabut yang kemudian menjadi senjata Pasopati dan Kunta Wijayacapa. Tentang nama senjata ini banyak versi, tergantung sanggit Ki Dalang tentunya. Sedangkan rambutnya  dicabut  segenggam  yang  kemudian  menjadi kendeng/tali gendewa yang bermacam-macam. Sedangkan dahinya ditulisi dengan rajah kala cakra, dinamakan Sastrabinadeti. Atas kehendak Batara Guru dan persetujuan Batara Narada, Kama Salah diberi nama Batara Kala dan disuruh mengawini Batari Durga di Kahayangan Setragandamayit atau Dandangmangore di hutan Krendawahana. Batara Kala tidak dibenarkan memakan sembarang hewan dan manusia, kecuali manusia yang memiliki sukerta/dosa/nandang lepating dumadi (bahasa Jawa).

Cerita Batara Kala ini cukup panjang, khususnya dalam lakon ruwatan atau murwakala. Pergelaran wayang dengan lakon "ruwatan" atau "murwakala" merupakan salah satu acara seremonial yang sakral dan diselenggarakan oleh salah satu atau beberapa keluarga yang dianggap memiliki sukerta. Karena ragamnya cukup banyak, maka sukerta tersebut tidak mungkin disebutkan dan dijelaskan secara lengkap, semuanya telah disebutkan secara khusus dalam buku-buku Ruwatan/Murwakala. Namun secara singkat sukerta tersebut antara lain: ontang-anting yaitu anak laki-laki satu-satunya, kedana-kedini yaitu anak dua laki-laki dan perempuan, kembar yaitu anak yang lahir dalam satu kandungan lebih dari satu, dampit yaitu anak dua lahir dalam satu hari laki-laki dan perempuan, gondang kasih yaitu dua anak laki-laki dan perempuan lahir dalam satu hari warna kulitnya yang satu kuning yang lain hitam, tawang-gantungan yaitu anak kembar atau dampit yang lahir tidak  dalam satu hari, saramba yaitu anak empat laki-laki semua, bungkus yaitu anak yang lahir terbungkus ari-ari, wungkul yaitu anak yang lahir tanpa ari-ari, jempina yaitu anak yang lahir belum waktunya hanya tujuh bulan dalam kandungan, gotong mayit yaitu anak tiga perempuan semua, dan masih banyak lagi. Tentunya semua ini hanya gugon tuhon (dalam bahasa Jawa) atau keyakinan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Batara Kala bermata plelengan, berhidung bentuk haluan perahu, mulut terbuka nampak gigi dan taringnya, berjamang dengan garuda membelakang, bersurban Dewa, berkain kerajaan raksasa. Ada juga yang mengelompokkan wayang Batara Kala ini sebagai wayang dudahan, karena termasuk golongan Dewa. Tetapi dalam pakeliran sering terlihat wayang ini disimping di simpingan kiri, oleh karena itu disini dikelompokkan sebagai wayang simpingan kiri.   

5. MAHESASURA.
 Gambar-8: MAHESASURA

Mahesasura adalah raja negara Gua Kiskenda, ia berwujud raksasa yang besar mengerikan berkepala kerbau dan bertanduk panjang. Patihnya bernama Lembusura berwujud raksasa juga, tetapi berkepala sapi yang bertanduk panjang. Mahesasura mempunyai saudara yang dijadikan kendaraan perangnya bernama Jatasura. Jatasura bertubuh banteng tetapi berkepala raksasa. Prabu Mahesasura berwatak angkaramurka. Istananya terletak dalam sebuah gua besar yang di dalamnya lebar sekali. Balatentaranya berwujud raksasa yang tak terbilang jumlahnya, berikut para senopati dan adipatinya, rata-rata sakti. Kerjanya tiap hari mengganggu rakyat, mereka merusak tanaman sawah tegalan dsb. Prabu Mahesasura ingin meminang bidadari Kaindran yang bernama Dewi Tara. Maka diutuslah Patih Lembusura pergi ke Kahayangan untuk meminta Dewi Tara kepada Batara Indra, untuk dijadikan permaisuri. Tetapi Batara Indra tidak mengijinkan dan ditolak lamaran Mahesasura tersebut, sehingga Lembusura pulang ke Gua Kiskenda untuk melaporkan kejadian itu kepada rajanya. Sebelum bala tentara Prabu Mahesasura menyerang Kahayangan, diseranglah negara  Gua Kiskenda oleh para Dewa hingga habis binasa bala tentara raksasa Gua Kiskenda termasuk Patih Lembusura tewas. Tinggal Mahesasura dan Jatasura yang masih hidup bersama-sama raksasa-raksasa wanita. Para Dewa tidak mampu menandingi perlawanan Mahesasura dan Jatasura, karena jika yang satu mati, dilangkahi satunya, hidup kembalilah kedua makluk itu. Namun akhirnya dapat juga dibinasakan oleh jago Dewa yang bernama Raden Subali, dengan menggunakan sekuat tenaga kedua makluk ajaib, raja dan tunggangannya itu diadunya sehingga kedua-duanya tewas, darah segar berwarna merah dan putih mengalir ke sungai keluar gua.

Wayang Mahesasura ini sebenarnya ada yang berpendapat bukan termasuk wayang simpingan, tetapi karena selama ini wayang Mahesasura sering terlihat pada pergelaran-pergelaran selalu disimping, maka di sini dimasukkan dalam wayang simpingan kiri. Bahkan pada wayang-wayang yang kurang lengkap, tokoh Mahesasura dapat digantikan dengan wayang Buta Raton.

Wayang Mahesasura berkepala kerbau nampak tanduknya yang panjang, bermahkota, berpraba, berkain raja raksasa.


6. PANCATNYANA.
 
 Gambar-9: PATIH PANCATNYANA

Pancatnyana adalah patih negara Trajutrisna, rajanya bernama Suteja atau Prabu Bomanarakasura setelah dapat membinasakan Prabu Bomantara. Pada waktu negara Trajutrisna berperang melawan negara Pringgandani dalam memperebutkan Kikis Tunggarana, Patih Pancatnyana berhadapan melawan patih Pringgandani yang bernama Prabakesa. Sedangkan Prabu Bomanarakasura bertanding melawan Raden Gatotkaca.

Patih Pancatnyana berwujud raksasa besar, berhidung haluan perahu, bermulut menganga nampak gigi-gigi dan taringnya, bertopong bergaruda  membelakang, berambut terurai, berpraba, tangan belakang irasan, berkain raja raksasa. Apabila tidak terlengkapi dengan wayang ini, biasanya digunakan wayang Raksasa Raja Muda atau Buta Patih. Namun pernah terlihat dalam pergelaran di Surabaya melalui siaran televisi INDOSIAR, seorang Dalang yang cukup terkenal menunjukkan wayang Patih Pancatnyana dengan wayang tidak seperti ini, tetapi dengan wayang raksasa rambut terurai, bergaruda membelakang, tangan belakang terlepas dapat digerakkan, badan disungging warna coklat. Wayang tersebut mungkin milik pribadi sehingga enak dimainkan di kelir (cepengannya enak) dan dalam lakon apa pun selalu dikeluarkan di kelir.  


7. ANCAKOGRA
 
 Gambar-10: ANCAKOGRA
Nama Ancakogra berasal dari kata ”ancak” yaitu kulit batang pisang atau disebut ”debok” (bahasa Jawa) yang dibentuk empat persegi diberikan ayaman jarang-jarang bilah bambu di dalamnya yang digunakan tempat menaruh nasi tumpeng bersama lauknya, sayur mayur dan panggang ayam yang digunakan untuk sesaji atau selamatan di desa-desa di Pulau Jawa umumnya. Kebiasaan bersih desa, memohon hujan pada saat kemarau yang berkepanjangan dan lain-lainnya sering kali dilakukan masyarakat di pedesaan, walaupun mungkin saat sekarang sudah langka lagi, karena pengaruh agama dan pendidikan yang semakin baik. Upacara selamatan ini biasanya dilakukan di perempatan jalan dengan masing-masing anggauta keluarga membawa paling tidak satu ancak, baru kemudian dikumpulkan ditumpuk menjadi satu di perempatan jalan tempat dilakukan upacara. Setelah selesai berdoa maka ancak tersebut dibagikan kembali ke anggauta keluarga sehingga ancak yang diterima kembali akan tertukar dengan ancak warga lain. Disini terlihat saling tukar menukar ancak yang berisi makanan tersebut. Dalam upacara ini nampak pula kandungan budaya toleransi keyakinan warga, disebutkan dalam doa tersebut danyang inkang manggen wonten keblat sekawan gangsal ingkang dipun lenggahi, Dadungawuk, Dewi Sri dan Sadana, para Wali para Nabi dan lain sebagainya. Ini adalah hanya sebuah pengalaman dan kesan pribadi seorang pembuat wayang.
Ancak-ancak tersebut di atas setelah makanannya diambil dibuang ke tempat sampah. Sehingga dalam dunia pewayangan/pedalangan diceritakan pada waktu Bambang Suteja dalam perjalanan mencari orang tuanya telah diberikan ibunya Dewi Pertiwi cangkok kembang Wijayakusuma yang disebut kembang Wijayamulya. Kembang ini memiliki khasiat dapat menghidupkan benda mati. Di tengah jalan Bambang Suteja berjumpa dengan seekor burung garuda yang setengah mati, untuk mencoba kasiat kembang Wijayamulya didekatkan kembang tersebut di atas burung garuda itu sehingga terbukti burung garuda dapat hidup segar bugar kembali atau oleh Ki Dalang disebutkan ”jati waluya temah waluya jati”. Bersamaan dengan kejadian itu ada sesuatu keanehan, di dekat burung tersebut terkapar sebuah "ancak" sesaji yang rusak, bangkai burung dara yang sudah busuk dan cadik perahu tua, tempayan yang rusak, seketika dapat berubah wujud hidup menjadi manusia walaupun berwujud raksasa. Burung garuda yang sebenarnya bernama Garuda Wilmuna dapat berbicara, akhirnya menjadi kendaraannya. Demikian juga raksasa Ancakogra yang berasal dari ancak, Ditya Mahundara yang berasal dari bangkai burung dara dan Yayahgriwa berasal dari tempayang yang rusak terbuang, Cantekawati yang berasal dari cadik perahu, semuanya mengikuti perjalanan Bambang Suteja.
Ketika terjadi perselisihan antara Prabu Sitija/Bomanarakasura dan Prabu Gatotkaca raja Pringgondani, karena perebutan wilayah Tunggarana, Ancakogra tewas dalam pertempuran melawan Gatotkaca, dadanya hancur terkena aji Brajamusti. Demikian kisah Ancakogra raksasa jadian ini.
Wayang Ancakogra apakah seperti ini, tentunya setiap Dalang, penulis atau pencipta wayang bebas menafsirkannya, mengingat wayang ini tidak terlampau sering keluar dalam pakeliran. Ini adalah sanggit atau tafsiran seorang pembuat wayang yang ingin menambahkan jumlah wayang yang sudah ada.

8. KALAKARNA.
 
 Gambar-11: KALAKARNA

Wayang ini sebenarnya adalah wayang srambahan, wayang yang dapat dipakai sebagai banyak tokoh wayang lainnya. Selain digunakan sebagai tokoh Kalakarna, dapat juga digunakan sebagai Patih Prahasta, atau Prabakesa dsb. Ada juga yang menyebutkan tidak sebagai wayang simpingan, tetapi sebagai wayang dudahan. Namun dalam pergelaran-pergelaran wayang yang mempergunakan seperangkat wayang yang lengkap, khususnya pergelaran di Ibukota Jakarta, wayang Kalakarna ini disimping di kiri. Bila tokoh wayang ini tidak ada, biasanya Patih Kalakarna, atau Prahasta dapat digantikan wayang Buta Patih. Wayang ini dapat disebutkan sebagai Patih Kalakarna, Prabakesa, atau Prahasta, karena sering terlihat dalam buku-buku wayang, sebagai ilustrasinya, ketiga tokoh wayang tersebut sering ditunjukkan wayang ini. Kisah Kalakarna tersebut dapat dilihat dalam lakon Alap-alap Surtikanti, Kisah Patih Prahasta diceritakan dalam lakon Lokapala, Alengka. Kisah Prabakesa dapat dilihat dalam lakon yang menceritakan negara Pringgandani pada masa Raden Gatotkaca sampai perang Baratayuda.

Wayang Kalakarna bermata plelengan, berhidung haluan perahu, mulut terbuka nampak gigi-gigi dan taringnya, bertopong, bergaruda membelakang, berambut terurai, berpraba dan berkain raja raksasa.  Tangan belakang lepas tidak irasan seperti umumnya wayang raksasa.



9. RAKSASA RAJA MUDA.
 
 Gambar-12: RAKSASA RAJA MUDA ( NAMPAK KEDUA MATANYA)

 
 Gambar-13: RAKSASA RAJA MUDA (NAMPAK KEDUA MATANYA)
 
 Gambar-14: RAKSASA RAJA MUDA

Wayang ini sering terlihat digunakan sebagai seorang patih raksasa, misalnya Patih Sekipu dari negara Gilingwesi, Patih Pancatnyana dari negara Trajutrisna, Patih Prahasta dari negara Alengka, Patih Suratrimantra dari negara Sengkapura, bahkan bila Patih Lembusura dari negara Gua Kiskenda tidak dilengkapi, dapat juga digunakan wayang ini. Demikian juga untuk patih-patih dari negara seberang biasa digunakan wayang ini. Sehingga boleh dikatakan dalam lakon apa pun wayang ini dapat dikeluarkan dengan nama sekehendah Ki Dalang, khususnya lakon-lakon carangan.

Dalam pergelaran-pergelaran memang sering wayang ini ditunjukkan sebagai seorang patih dari suatu negara tertentu, apalagi jika rajanya juga seorang raksasa (ditunjukkan dengan Buta Raton). Oleh karena itu kiranya tidak keliru jika wayang ini ada yang menyebutkan dengan nama Buta Patih. Nama tersebut pernah terdengar ketika seorang Dalang menyuruh anak-anak yang menonton di dekat kotak mengambil dari simpingan kiri dengan sebutan Buta Patih. Sehingga dapat disebutkan juga bahwa wayang ini adalah wayang srambahan. Namun pernah juga terlihat seorang Dalang yang cukup terkenal menunjukkan wayang ini dalam lakon ”Sudamala” sebagai Kalantaka dan Kalanjaya, jadi bukan sebagai patih. Nampaknya kedua wayang tersebut memang milik pribadi atau bawaan Ki Dalang. Jadi yang jelas wayang ini lebih nampak dikategorikan sebagai wayang srambahan.

Wayang ini berhidung bentuk haluan perahu, bermulut terbuka nampak gigi-gigi dan taringnya, berjamang, bersunting surengpati, bergaruda membelakang, berambut terurai atau gimbal di punggung dan menutupi seluruh badannya sampai sepanjang kaki. Tangan belakang irasan, tidak dapat digerakkan, hanya tangan depan yang lepas dan dapat digerakkan. Di dalam buku ini disajikan tiga wayang, yang satu morgan nampak satu matanya, berarti miring betul, yang kedua  nampak kedua matanya bertopong, sedangkan yang ketiga nampak kedua matanya garudan, berarti digambarkan agak miring/metok(bahasa Jawa).


10. JATAGIMBAL
 Gambar-15: JATAGIMBAL
Prabu Jatagimbal adalah raja raksasa di negara Guasiluman. Ia masih keturunan Prabu Kalasasradewa, raja raksasa di negara Goamiring yang tewas dalam pertempuran melawan Prabu Pandudewanata, karena bersama prajuritnya menyerang negara Mandura untuk merebut Dewi Arumbini, istri Arya Prabu Rukma.
Karena ketekunannya bertapa, Prabu Jatagimbal menjadi sangat sakti, berwatak angkara murka, bengis, dan selalu ingin menangnya sendiri. Prabu Jatagimbal menikah dengan Dewi Jatagini, dan mempunyai seorang anak bernama Kalasrenggi.
Untuk membalas dendam kematian ayahnya, Prabu Kalasasradewa, Prabu Jatagimbal menyerang negara Amarta. Ia ingin membinasakan keluarga Pandawa yang merupakan keturunan Prabu Pandudewanata. Prabu Jatagimbal tewas dalam pertempuran melawan Arjuna. Tubuhnya hancur terkena panah Kyai Sarotama.
Dendam keluarga itu rupanya masih berlanjut. Istri Jatagimbal yang bernama Jatagini memberitahukan anaknya, Kalasrenggi, dengan berbagai kesaktian untuk membalas kematian ayahnya. Setelah cukup kesaktiannya, Kalasrenggi pergi mencari Arjuna untuk membalas dendam keluarganya. Dalam perjalanan mencari Arjuna, ia melihat dari atas seorang ksatria yang tampan dan dikira Arjuna. Ksatria tampan itu memang anak Arjuna bernama Bambang Irawan yang dalam perjalanan menuju negara Wirata untuk membantu keluarga Pandawa dalam perang Baratayuda. Maka dengan cepat Kalasrenggi meniup dari atas dan langsung menggigit leher Bambang Irawan. Dengan rasa kaget Bambang Irawan menghunus keris dan dengam cepat menikam dada Kalasrenggi agar melepas gigitannya. Tetapi Kalasrenggi malahan semakin  kuat menggigit Bambang Irawan, sehingga akhirnya keduanya mati sampyuh (bahasa Jawa). Dalam pewayangan banyak sekali cerita atau lakon balas dendam ini terjadi, Kalasasradewa adalah musuh Prabu Pandu, anak Kalasasradewa (Prabu Jatagimbal) membalas kepada keluarga Pandawa (anak Prabu Pandu), anak Jatagimbal yang bernama Kalasrenggi membalas dendam kepada keluarga Pandawa dan ketemu Bambang Irawan.
Wayang Jatagimbal ini merupakan tafsiran, karena wayang ini hanya sekali keluar dan langsung mati, oleh karena itu banyak para Dalang menunjukkan tokoh Jatagimbal ini dengan wayang berbeda-beda atau wayang srambahan, dan mungkin wayang miliknya sendiri yang enak dipegang atau enak untuk sabetan. Prabu Jatagimbal berujud raksasa nampak kedua matanya kelipan, hidung nyantik palwa, mulut menganga nampak gigi-gigi dan taringnya, berjamang, rambut terurai di punggung/nggendong, tangan belakang irasan.      


11. DITYA KALANJAYA DAN KALANTAKA
 Gambar-16: KALANTAKA
Ditya Kalanjaya dan Kalantaka nampak di pakeliran dalam lakon ”Sudamala”. Dimana kedua raksasa ini sebenarnya Dewa penjaga Kahayangan Tinjomaya yang sedang menerima pidana berubah rupa menjadi dua raksasa karena dipersalahkan mengintip Batara Guru yang sedang mandi di sendang bersama para Bidadari. Kedua raksasa itu sebenarnya bernama Batara Citrasena dan Citragada. Untuk dapat diruwat pulih kembali mejadi Dewa, kedua raksasa ini datang ke negara Astina menemui Begawan Durna seorang Pendeta yang sangat terkenal menguasai  segala macam ilmu pengetahuan. Begawan Durna sanggup meruwat tetapi dengan syarat kedua raksasa tersebut dapat menyajikan panggang manusia lima bersaudara laki-laki semua. Lima saudara laki-laki semua adalah para Pandawa, ini merupakan siasat Korawa untuk menghancurkan Pandawa sebelum perang Baratayuda terjadi.
Dalam perjalanan mencari panggang manusia tersebut, Ditya Kalanjaya dan Kalantaka bertemu dengan pendeta Parangalas yang bernama Begawan Tambrapeta dan kedua putrinya Dewi Soka dan Padapa yang sedang mencari Raden Nakula dan Sadewa. Dilihatnya ada dua wanita yang cantik-cantik, maka kedua raksasa tersebut mengejarnya. Dalam pengejaran ini mereka berjumpa dengan Raden Nakula dan Sahdewa, sehingga kedua raksasa ini dapat dikalahkan dengan diadu dibenturkan kedua kepala mereka hingga tewas. Tewasnya kedua raksasa ini berubah menjadi Batara Citrasena dan Batara Citragada. Atas jasa meruwat kedua raksasa ini dan memang kehendak kedua putri tersebut Dewi Soka menjadi istri Raden Nakula dan Dewi Padapa menjadi istri Raden Sadewa.
Bentuk wayang Ditya Kalanjaya dan Kalantaka mirip Denawa Patih, disini dibuat kembar nampak kedua matanya, hanya beda di wajah yang satu bersinom sedangkan yang lain tidak. Jika wayang ini tidak ada dalam satu kotak wayang yang disediakan bisa saja menggunakan wayang Denawa Patih atau Denawa Prepatan. Penafsiran ini dilakukan tiada maksud lain  terkecuali ingin menambahkan jumlah wayang yang ada khususnya Gaya Surakarta ini. Benar dan salahnya terbalik pada para Dalang dan pencinta wayang. 



19. PRABU DASAMUKA.
 
Gambar-25: DASAMUKA NAMPAK KEDUA MATANYA (BEGAL)

 
Gambar-26: DASAMUKA (SEMBADA)


Gambar-27: DASAMUKA NAMPAK KEDUA MATANYA (BEGAL)


Gambar-28: DASAMUKA NAMPAK KEDUA MATANYA (BUGIS)


Gambar-29: DASAMUKA TRIWIKRAMA


Dasamuka artinya bermuka sepuluh. Karena kalau triwikrama kepalanya dapat menjadi sepuluh. Nama aslinya Rahwana, karena pada waktu lahir berada ditengah hutan dan terdiri dari segumpal darah. Rah berarti darah, wana berarti hutan. Ibunya bernama Dewi Sukesi, ayahnya bernama Begawan Wisrawa. Prabu Dasamuka berpermaisuri Dewi Tari. Ia berputra mahkota Indrajit atau Megananda. Putra-putra dari isteri yang lain diantaranya: Trikaya, Trinetra, Trisirah, Trimurda, Pratalamaryam dll. Ia naik takhta kerajaan Alengka menggantikan kakeknya Prabu Sumali, dengan patihnya pamannya sendiri yaitu Prahasta. Saudara-saudara seayah seibu antara lain: Kumbakarna berwujud raksasa, tinggal di kesatrian Pangleburgangsa, Dewi Sarpakenaka berwujud raksesi, Gunawan Wibisana berwajah tampan. Prabu Dasamuka berwatak angkaramurka, ingin menangnya sendiri, penganiaya dan pengkianat, keras hati, berani serta menuruti kata hatinya sendiri. Ia sangat sakti, karena mempunyai aji Pancasona yang didapat dari Resi Subali dan dapat triwikrama menjadi raksasa berkepala sepuluh. Prabu Dasamuka mengidamkan seorang istri penjelmaan Dewi Widowati. Ia meminang  putri negara Ayodya bernama Dewi Sukasalya,  putri Prabu Banaputra. Sesuai dengan wataknya, ia minta dengan bengis dan mengancam dengan kekerasan, sehingga mengakibatkan peperangan antara kedua negara itu. Prabu Banaputra gugur dalam pertempuran. Dewi Sukasalya melarikan diri dari Ayodya untuk menyembunyikan diri. Resi Baratmadya dan semua yang melindungi pelarian putri tersebut dibinasakan oleh Rahwana. Akhirnya Resi Dasarata dapat menipunya, Rahwana diberi Dewi Sukasalya palsu yang segera dibawa kembali ke Alengka, tetapi Dewi Sukasalya tersebut kembali ke asalnya, menjadi sekuntum bunga. Rahwana sangat marah, lalu menuntut Resi Dasarata. Resi Dasarata menjawabnya dengan sebuah kalimat bahwa mati hidup manusia itu ada di tangan Dewa. Kemarahan Rahwana kemudian beralih ditujukan kepada Dewa dan memerintahkan angkatan perangnya untuk menggempur Suralaya. Niatnya itu didengar oleh kakaknya lain ibu yang bernama Prabu Danaraja, raja negara Lokapala. Prabu Danaraja datang ke negara Alengka untuk memberikan nasehat agar jangan menyerang para Dewa di Suralaya. Tetapi nasehat itu malahan menjadikan salah paham, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan antara Rahwana dengan Prabu Danaraja. Prabu Danaraja akhirnya gugur dalam pertempuran itu.

Pada suatu ketika Rahwana berkelana mencari penjelmaan Dewi Sri Widowati. Ia melewati di atas hutan Sunyapringga, di mana Resi Subali sedang bertapa. Karena kesaktian Resi Subali, Rahwana jatuh dari angkasa. Ia menjadi marah dan menyerang Resi Subali, sehingga terjadi peperangan antara keduanya. Rahwana kalah dan menyerahkan diri untuk berguru pada Resi Subali. Aji Pancasona akhirnya diberikan juga kepada Rahwana. Demikian asal mula Rahwana memiliki aji Pancasona. Pada zaman Prabu Arjuna Wijaya bertakhta di negeri Maespati, Rahwana menyerang Maespati dan dapat membunuh Patih Suwandagni/Sumantri. Tetapi ia dapat ditahan dan disiksa oleh Prabu Arjuna Wijaya/Arjuna Sasrabahu, dengan diikat serta diseret pada kereta. Sejak itu keangkaramurkaan Rahwana dapat dipadamkan sehingga dunia diliputi dengan kedamaian. Setelah Prabu Arjuna Sasrabahu muksa, sifat angkaramurka Rahwana timbul kembali. Karena ia sangat segan kepada Resi Subali gurunya, maka ia mencari daya upaya untuk membinasakan gurunya. Dihasut dan diadu dombalah antara Resi Subali dan Sugriwa adiknya, sehingga timbul perang saudara. Negara Gua Kiskenda dikuasai Resi Subali, Dewi Tara permaisuri Sugriwa dirampas.

Di dalam Ramayana diceritakan, bahwa Dasamuka berhasil menculik Dewi Sinta, permaisuri Sri Rama Wijaya. Akibat dari perbuatan ini terjadi perang besar Alengka, sehingga Prabu Dasamuka gugur oleh tangan Sri Rama Wijaya dengan perantaraan panah sakti Guwawijaya. Untuk menghindari kemungkinan bangkitnya kembali Prabu Dasamuka yang telah tewas itu, maka ditimbunlah oleh Anoman dengan gunung Kendalisada. Konon dalam pedalangan cerita tentang Rahwana masih ada dalam zaman Mahabarata/Pandawa/Madya, sehingga rohnya masih berkeliaran yang disebut Prabu Godayitma atau Godakumara, bertakhta di negara Tawanggantungan atau Suwargabandang. Tetapi semua ini dapat dikalahkan oleh Anoman yang berumur panjang juga, dan selalu mengabdi kepada titisan Batara Wisnu yang selalu memelihara ketentraman dunia.

Demikian juga dalam suatu pergelaran dapat diceritakan bahwa sukma/roh Godayitma dapat menyusup pada seseorang sehingga memiliki sifat angkaramurka dan ingin menyerang pada kebaikan yang selalu dijunjung tinggi para Pandawa. Biasanya tokoh yang disusupi oleh Godakumara itu, siapa pun namanya selalu memihak/membantu para Korawa. Tetapi akhirnya semuanya dapat dikalahkan oleh Pandawa yang dibantu oleh Anoman dan Prabu Kresna. Cerita-cerita tentang Godayitma/Godakumara ini merupakan lakon carangan, kelihatannya sudah sulit diketahui siapa sebenarnya yang pertamakali memiliki sanggit yang demikian. Tentunya para Dalang dapat dengan bebas menciptakan sanggit-sanggit baru yang sesuai dengan perkembangan pandangan hidup masyarakat sehingga pergelaran wayang merupakan sumber inspirasi, menarik dan tetap diminati masyarakat.

Bentuk wayang Prabu Dasamuka, muka sangat garang, bertaring, bermahkota, berpraba, bersampir, berkain katongan, tangan belakang irasan. Di sini ditunjukkan empat wayang Dasamuka dan satu wayang Dasamuka dalam bentuk triwikrama, raksasa berkepala sepuluh. Satu wayang Dasamuka murgan, artinya matanya nampak hanya satu, jadi miring betul. Dua wayang Dasamuka nampak kedua matanya, jadi agak miring sedikit. Wanda-wanda dari wayang Dasamuka antara lain:  1.Begal, 2.Bugis, 3.Iblis, 4.Sembada, 5.Pamuk dan 6.Goteng. 
 

20. BUKBIS.
 
 Gambar-30: BUKBIS

Bukbis disebut juga Pratalamaryam. Ia adalah putra Prabu Dasamuka dengan Dewi Urangrayung, putri Batara Minalodra di Kandabumi. Ia memiliki pusaka sebuah topeng yang terbuat dari baja yang disebut "Topeng Waja" dan berkesaktian, siapa saja yang dipandangnya dengan mata topeng itu akan terbakar hangus. Saudaranya yang seibu tapi lain ayah, bernama Trigangga/Trihangga, berwujud kera putih, karena merupakan anak Anoman dengan Dewi Urangrayung. Bukbis mati pada waktu mengejar Trigangga yang mengambil kembali kendaga yang berisi Sri Rama dan Lesmana. Pertempuran Bukbis dan Trigangga sangat dasyat, karena Bukbis menggunakan senjatanya Topeng Waja, siapa pun yang dipandang akan lebur terbakar. Atas petunjuk Arya Gunawan Wibisana, maka Anoman mempergunakan kaca raksa untuk memantulkan daya panasnya, sehingga Pratalamaryam mati karena pandangan mata saktinya memantul kembali terhadap dirinya sendiri.

Bentuk wayang Bukbis yang sebenarnya apakah semacam ini, tentunya banyak sekali penafsiran, karena pernah terlihat pada suatu pergelaran wayang yang diselenggarakan di museum ABRI/TMII dan di televisi INDOSIAR dengan lakon "Topeng Waja", seorang Dalang yang cukup terkenal, ternyata wayang yang dipergunakan sebagai Bukbis tidak seperti ini. Ada juga yang menyebut wayang ini sebagai Prabu Bomantara, atau masih banyak lagi nama-nama yang lain, terutama sebagai raja-raja tanah seberang. Jadi wayang ini lebih nampak jelas disebutkan sebagai wayang srambahan.


21. DASAWILUKRAMA.
Gambar-31: DASAWILUKRAMA
            Dasawilukrama adalah putra Prabu Dasamuka raja Alengka, namun sejak kecil sepeninggal ayahnya dan serubuhnya negara Alengka diasuh oleh Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta di Pancawatidenda. Sehingga diajarkanlah ilmu bagaimana orang hidup berbudi luhur, keperwiraan, kautaman, sehingga bertentangan dari apa yang pernah dilakukan Prabu Dasamuka ayahnya.
            Walaupun Prabu Rama dan Dewi Sinta mendidiknya dengan ajaran-ajaran kebaikkan, tetapi ternyata Dasawilukrama tidak seperti apa yang diharapkannya, malahan rasa balas dendam ingin membalas kematian orang tuanya Prabu Dasamuka untuk membunuh Prabu Rama, timbul dalam hati kecilnya. Demikian juga Dasawilukrama telah bersekutu dengan kemenakanya raja Bikukungpura Prabu Beganasura yang putra Raden Indrajit. Karena Prabu Rama telah lanjut usia, maka ada rencana untuk lengser keprabon, kekuasaan negara Pancawatidenda akan diserahkan kepada putra angkatnya Dasawilukrama. Rencana ini telah dirundingkan dengan Narpati Guakiskenda Sugriwa, sehingga semua warga Pancawatidenda mendengarkan, dan menimbulkan banyak pendapat yang sifatnya kontroversial, setuju dan tidak setuju. Khususnya para warga wanara sangat banyak yang tidak setuju, mengingat apabila Dasawilukrama berkuasa akan semena-mena terhadap para wanara karena yang merubuhkan Alengka adalah para prajurit wanara ini. Yang nampak seketika itu adalah Jaya Anggada, tanpa ada panggilan dari Prabu Rama langsung naik ke persidangan menyatakan ketidak setujuannya atas kebijakan Prabu Rama. Oleh Prabu Rama diputuskan siapa yang merasa tidak setuju boleh meninggalkan Pancawatidenda. Sehingga Anggada ditangkap oleh Anoman menyerah dimasukkan tahanan dalam penjara dekat dengan pesanggrahan Prabu Rama dan Dewi Sinta, sambil menunggu hingga ada keputusan pengadilan.
            Pada suatu malam benar apa yang terjadi, Dasawilukrama hendak membunuh Prabu Rama dan Dewi Sinta yang sedang tidur. Namun berkat kewaspadaan Jaya Anggada niat jahat Dasawilukrama dapat digagalkannya, walaupun Jaya Anggada kena fitnah yang akan membunuh Prabu Rama dan Dewi Sinta adalah Anggada hingga meninggalkan Pancawatidenda. Jaya Anggada akhirnya bertemu dengan Raja Bikukungpura Prabu Beganasura yang berniat membalas dendam ingin menyerang Prabu Rama Wijaya, singkatnya cerita Prabu Beganasura tewas oleh Jaya Anggada. Pakaian kebesaran Prabu Beganasura diambilnya dan dipakai untuk menantang Dasawilukrama. Disarankan oleh Prabu Rama dan seluruh warga Pancawatidenda agar Dasawilukrama sebagai calon pemegang kekuasaan Pancawatidenda harus dapat menhancurkan Prabu Beganasura. Dasawilukrama berhadapan dengan Prabu Beganasura yang sebenarnya Jaya Anggada, sehingga akhirnya tewas melawan Jaya Anggada, maka aman sejahtera para wanara di Pancawatidenda.
Wayang Dasawilukrama disini ditafsirkan bermahkota, muka agak tunduk disungging warna merah muda, hidung dempak, mulut gusen bertaring, mata plelengan, memakai praba, berkain rapekan.


22. PRABU BALADEWA.

Gambar-32: PRABU BALADEWA (SEMBADA)

Gambar-33: PRABU BALADEWA (KAGET)
 
Gambar-34: PRABU BALADEWA (GEGER)
 
Gambar-35: PRABU BALADEWA/BEGAWAN CURIGANATA (ZAMAN PARIKESIT)

Nama lain dari Prabu Baladewa, Kusumawalikita, Balarama, Basukiyana, Curiganata dan Alayuda. Permaisurinya Dewi Erawati, putri Prabu Salya raja negara Mandraka. Dengan Dewi Erawati berputra dua orang bernama: Wisata dan Wilmuka. Prabu Baladewa sangat sakti, karena memiliki senjata pusaka Nanggala dan Alugora.

Dalam perang Baratayuda Prabu Baladewa memihak Korawa, karena kesaktiannya, oleh Prabu Kresna dianggap tidak ada tandingnya dan menyukarkan perlawanan para Pandawa, maka sewaktu perang Baratayuda akan dimulai Prabu Baladewa dapat disisihkan oleh Sri Kresna, supaya bertapa di Grojogansewu dengan ditemani oleh putra Sri Kresna yang bernama Setyaka, sehingga Prabu Baladewa bebas dari dosanya dengan sangsi ditelan bumi. Dalam pertapaan, suatu hari beliau melihat bahwa warna air terjun semakin lama semakin bertambah merah bercampur darah dan berbau amis serta banyak puntungan kereta, roda kereta, senjata dan mayat yang hanyut. Maka ditanykanlah pada Setyaka, apakah perang Baratayuda sudah dimulai. Oleh Setyaka diberitahukan, bahwa hal itu disebabkan adanya bencana banjir yang melanda pemukiman penduduk. Tetapi setelah Batara Narada datang memberitahukan bahwa perang Baratayuda sedang berjalan dan hampir selesai, maka marahlah Prabu Baladewa dan dikejarnya Setyaka. Namun dapat dilerai oleh Batara Narada dan dinasehatkan bahwa beliau diwenangkan melihat perang Baratayuda babak yang terakhir, yaitu bertandingnya Prabu Suyudana melawan Raden Werkodara. Pada waktu itu Prabu Suyudana telah terdesak oleh Raden Werkodara, sehingga lari dan mencebur ke dalam kedung sungai bersembunyi. Pada saat para Pandawa menunggui di sekitar kedung, datanglah Prabu Baladewa yang menuntut kepada Prabu Kresna mengapa tidak diberitahukan tentang perang Baratayuda. Semuanya dijelaskan Prabu Kresna dan diberitahukan bahwa perang Baratayuda yang terakhir masih ada, yaitu perangnya Prabu Suyudana/Duryudana melawan Raden Werkodara, di mana Prabu Suyudana masih bersembunyi dalam kedung. Maka dipanggillah Prabu Suyudana oleh Prabu Baladewa yang semula memang akan memihak Korawa, maka keluarlah Prabu Suyudana begitu medengar panggilan itu, mengira akan dibantu oleh Prabu Baladewa. Maka dilanjutkanlah Perang tanding keduanya dengan perang gada, di sinilah gugur Prabu Duryudana oleh gada Raden Werkodara, dan selesailah perang Baratayuda dengan kemenangan di pihak Pandawa. Demikian lakon perang Baratayuda dalam kaset rekaman wayang yang dibawakan oleh seorang Dalang yang sudah cukup terkenal. Menurut cerita dari mulut ke mulut, lawan tanding Prabu Baladewa adalah Raden Atareja, tetapi ia telah disisihkan juga oleh Prabu Kresna, yaitu  supaya menjilat bekas tapak kakinya sendiri sehingga mati sebelum perang Baratayuda dimulai. Selesai perang  Baratayuda  Prabu  Baladewa kembali  ke negara Astina dan mengetahui bahwa Korawa telah habis tewas di medan perang. Kemudian Prabu Baladewa ikut para Pandawa sampai zaman Prabu Parikesit naik takhta. Dalam lakon "Jumenengan Prabu Parikesit", Prabu Baladewa masih tampil di medan perang menghadapi Prabu Ajibarang yang bermaksud merebut takhta kerajaan Astina. Meskipun sudah berusia lanjut, ia dapat membunuh Prabu Ajibarang dengan senjata Nanggalanya yang sangat ampuh itu.

Wayang Prabu Baladewa bermata kedelen, muka disungging warna merah, bermahkota, berjamang tiga susun, bergaruda membelakang, berpraba, bergelang, berpontoh, berkeroncong dan berkain katongan. Sebagai ilustrasi ditampilkan satu wayang yang berkain rapekan, karena zaman pemerintahan Prabu Parikesit, merupakan akhir dari zaman purwa dan awal dari zaman madya.

Beberapa wanda dari wayang Prabu Baladewa: 1.Geger, 2.Kaget, 3.Sembada, 4.Paripaksa, 5.Rayung, 6.Jago, 7.Banteng dan mungkin masih banyak lagi. Pernah terlihat wayang Prabu Baladewa wanda Sembada di museum SENAWANGI Jakarta Kota, wayang tersebut sangat bagus sekali, penyunggingannya sangat sederhana namun nampak indah sekali. 



103. GUNUNGAN BLOMBANGAN.

 Gambar-147: GUNUNGAN BLOMBANGAN
Gambar-148: GUNUNGAN BLOMBANGAN

 
Gambar-149: GUNUNGAN BLOMBANGAN

 
Gambar-150: GUNUNGAN BLOMBANGAN

 Gambar-151: GUNUNGAN BLOMBANGA


Gambar-152: CONTOH SUNGGINGAN DI BALIK GUNUNGAN BLOMBANGAN
Gunungan disebut juga Kayon, yang artinya pepohonan. Jika ditinjau dari bahasa Arab "khayyu" berarti hidup, jadi Gunungan melambangkan bentuk kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya (dunia) yang mengalami tahapan. Demikian menurut S.Haryanto dalam Bayang Bayang Adiluhung. Untuk uraian dengan pendekatan filsafati tidak dijelaskan di sini, karena hal yang demikian merupakan suatu bidang khusus. Di sini hanya ditunjukkan Gunungan sebagai wayang simpingan dan kegunaannya di pakeliran. Gunungan pada wayang kulit purwa gaya Surakarta dan mungkin juga pada gagrag Yogyakarta dan gagrag lainnya, menurut jenisnya ada dua macam, yaitu Gunungan laki-laki disebut juga Gunungan "Gapuran" dan Gunungan Perempuan disebut juga Gunungan "Blombangan".

Jumlah Gunungan yang ada dalam satu kotak wayang kulit paling tidak tersedia satu buah Gunungan. Walaupun ada pula yang diperlengkapi dengan dua/tiga atau lebih. Namun banyak juga para Dalang (khususnya para Dalang yang sudah cukup terkenal) membawa satu atau dua Gunungan milik sendiri yang disimping juga di kelir sehingga dapat menambah indahnya pakeliran. Jika hanya diperlengkapi dengan satu Gunungan, maka Gunungan tersebut disimping ditancap di tengah-tengah kelir secara tegak pada saat pakeliran belum dimulai, namun sesudah pakeliran dimulai Gunungan tersebut diangkat dan ditancap di simpingan kiri atau kanan. Jika diperlengkapi dengan dua Gunungan biasanya kedua-duanya disimping ditancap tegak di tengah-tengah kelir ditumpuk menjadi satu dengan Gunungan Gapuran di depan atau di luar menjadi satu dengan Gunungan Blombangan. Setelah pakeliran dimulai kedua Gunungan tersebut dicabut, kemudian ditancap di simpingan kanan untuk Gunungan Gapuran, di simpingan kiri untuk Gunungan Blombangan. Jika Gunungan jumlahnya tiga, satu ditancap tegak ditengah-tengah kelir, dua ditancap di simpingan kiri dan kanan. Kalau pakeliran dimulai terserah pada Ki Dalang di sebelah mana Gunungan yang di tengah-tengah kelir akan dicabut dan ditancapkan dapat di sebelah kiri, dapat juga di sebelah kanan. Jika jumlah Gunungan empat, Gunungan tersebut ditancap dua di tengah-tengah kelir, satu di simpingan kiri, satu di simpingan kanan. Apabila pakeliran dimulai dua Gunungan yang di tengah-tengah kelir dicabut oleh Ki Dalang dan ditancapkan satu di simpingan kiri, satu lagi di simpingan kanan.

Beberapa perbedaan antara Gunungan laki-laki atau Gapuran dan Gunungan perempuan atau Blombangan terletak pada ornamen gambar yang terisi dalam Gunungan tersebut. Untuk Gunungan Gapuran di dalamnya dilukiskan sebuah rumah joglo yang nampak tiang beserta ompaknya, pintu, lantai marmer, tembok batu bata di kiri kanan, di depan dijaga dua patung raksasa yang membawa perisai dan gada. Patung ini disebut Cingkarabala dan Balaupata. Di atas rumah joglo, ada dua binatang yang berhadapan yaitu banteng di sebelah kanan dan harimau di sebelah kiri. Untuk Gunungan Blombangan di sini tergambarkan sebuah telaga yang nampak ikan di dalamnya. Di bawah telaga terlukis bermacam-macam binatang seperti: ular, harimau, gajah, kijang, celeng/babi hutan, burung merak dan sebagainya. Selain bermacam-macam jenis binatang ada juga yang diisi mangkaran besar, semua ini tergantung pada selera sipembuat Gunungan Blombangan tersebut. Di dalam buku ini ditunjukkan  satu Gunungan Blombangan  yang  dilukiskan gambar/ornamen singa terbang, sehingga tidak semua orang dapat memahami maksud dari gambar tersebut. Karena binatang-binatang yang terlukiskan di dalam Gunungan mestinya berupa satwa yang memang ada atau pernah ada di Nusantara ini, khususnya di pulau Jawa. Namun karena wayang Gunungan Blombangan ini diperoleh dari seorang penatah wayang yang mungkin mengambil blak/pola dari orang lain yang kemungkinan besar bukan orang Indonesia, maka di bawah telaga Gunungan Blombangan ini terlukis gambar singa terbang.

Di atas telaga nampak dua ekor garangan atau musang yang berhadapan. Namun atas dasar suatu kreasi di sini ditunjukkan satu Gunungan Blombangan yang di atas telaga dilukiskan dua ekor harimau yang sedang dililit ular, hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan memberikan keberagaman Gunungan Blombangan ini. Apakah dengan demikian dapat lebih memberikan keindahan, tentunya semuanya tergantung pada penilaian para Dalang, para pakar seni kriya wayang, para pencinta wayang dan masyarakat pewayangan.

Ada juga yang menyebutkan bahwa perbedaan antara Gunungan Gapuran dan Gunungan Blombangan terletak pada bentuknya. Gunungan laki-laki agak meruncing, sedangkan Gunungan perempuan agak melebar bagian bawahnya atau mblenduk (bahasa Jawa). Demikian beberapa perbedaan antara Gunungan laki-laki dan perempuan. Adapun persamaannya kedua-duanya berisikan gambar garuda kiri/kanan, ada juga yang menyebut bledekan. Kedua-duanya terlukiskan satu pohon di tengah-tengah dengan cabang, ranting, dedaunan, bunga-bunga dan buah-buahan secara simetris. Di dalam pepohonan tersebut terdapat bermacam-macam satwa jenis unggas seperti burung merak, tekukur, enggang, ayam hutan dsb, di samping satwa jenis monyet, lutung (monyet hitam). Pada batang pohon dilukis dua mangkaran secara tersusun. Mangkaran tersebut ada yang bermata satu, ada juga yang bermata dua, di sini ditunjukkan bermata dua. Untuk Gunungan perempuan ada kalanya dilukiskan mangkaran yang diletakkan di bawah telaga. Sedangkan di balik kedua jenis Gunungan tersebut dilukiskan suatu mangkaran besar dengan di atasnya dilukiskan api yang menyala berwarna merah kekuning-kuningan, atau disungging angin yang bertiup kencang diberi warna abu-abu kekuning-kuningan, atau biru. Gambar ini sebenarnya  tergantung selera pembuatnya, pernah terlihat Gunungan Gapuran milik seorang Dalang yang cukup terkenal di baliknya disunggingkan candi Prabanan. Demikian beberapa ornamen yang umum ada pada Gunungan laki-laki dan perempuan pada wayang kulit purwa gaya Surakarta. Adapun makna dari pada ornamen dalam kedua jenis Gunungan tersebut telah banyak diuraikan oleh para pakar, oleh karena itu tidak diuraikan dalam buku ini.

Gunungan yang ditancap di simpingan kanan biasanya Gunungan Gapuran. Karena saat pakeliran dimulai/jejer (bahasaJawa), sang raja selalu ditancapkan di sebelah kanan, sedangkan para menteri, maha patih, para brahmana, para tamu agung dan keluarga raja selalu ditancap di sebelah kiri berhadapan dengan sang raja. Dengan demikian nampak di belakang sang raja pandangan dalam Gunungan yang berisikan gambar rumah atau istana.

Sedangkan Gunungan perempuan selalu ditancap di simpingan kiri. Hal ini sangat memudahkan untuk membuat adegan seorang ksatria yang sedang berkelana akan memasuki hutan (dalam pakeliran selalu jalan dari kanan ke kiri), maka dihadapan ksatria tersebut ditancapkan Gunungan perempuan yang diangkat dari simpingan kiri. Karena Gunungan perempuan berwujud telaga, pohon dan satwa hutan, maka tepatlah untuk menggambarkan suasana hutan yang lebat, gawat, wingit dan angker, demikian sering diucapkan oleh Ki Dalang di pakeliran. Namun benar dan salahnya dikembalikan pada para pembaca, karena pendapat yang demikian hanya merupakan kesan pribadi seorang penggemar wayang dan pergelarannya. Adapun secara umum Gunungan dapat dimanfaatkan sebagai istana baik pada saat jejer/adegan istana maupun saat sang raja akan masuk sanggar pemujaan. Gunungan digunakan sebagai jalan atau jembatan yang rusak akibat bencana alam, ditunjukkan pada waktu adegan perampogan atau barisan tentara yang siap siaga dengan berbagai macam senjata terpaksa harus memperbaiki jalan atau jembatan tersebut  tanpa merusak lahan pertanian rakyat. Yang jelas adegan tersebut mencerminkan timbulnya suatu delema antara kepentingan militer dan bukan militer (pertanian, lindungan lingkungan hidup, transportasi dsb), di mana dituntut harus diberikan jalan keluar yang paling bijaksana.

Gunungan sebagai batas adegan di mana Gunungan ditancap kembali di tengah-tengah kelir. Jika waktu menunjukkan sebelum tengah malam atau iringan gamelan masih dalam patet enam, maka Gunungan ditancap miring sedikit ke kiri. Kalau menunjukkan tengah malam atau iringan gamelan sudah masuk patet sembilan Gunungan ditancap tegak. Sedangkan apabila waktu telah menujukkan dini hari atau menjelang pagi atau gamelan telah masuk dalam patet manyura, maka Gunungan ditancap condong kekanan sedikit. Demikian Gunungan sebagai batas adegan yang merupakan salah satu kesan pribadi seorang pembuat wayang dan pemerhati pergelarannya, sehingga setiap orang dapat saja memiliki kesan yang berbeda.

Gunungan digunakan untuk menggambarkan api yang berkobar, angin yang bertiup, lautan yang bergelora, banjir bandang, hujan lebat, hujan abu, banjir darah, dan sebagainya. Semua ini ditunjukan dengan cara membalik Gunungan, walaupun dilihat dari belakang kelir nampak sama tidak ada bedanya. Suasana gelap atau malam hari dapat ditunjukkan dengan cara menutupkan lampu/blencong.

Gunungan untuk menunjukkan gunung, pohon, adegan ini sering ditunjukkan saat Anoman atau Werkodara mencabut dan mengangkat gunung atau pohon, terlihat dalam lakon ”Anoman Duta”, “Rama Tambak”, “Babat Alas Mertani (Wana Marta)”.

Gunungan untuk menggambarkan bendungan, dapat dilihat dalam lakon "Rama Tambak".

Gunungan untuk menggambarkan telaga/danau, dapat dilihat dalam lakon Subali, Sugriwa dan Anjani berebut Cupu Manik Astagina. Tentunya Gunungan Blombangan yang digunakan untuk adegan tersebut, jika Gunungan Blombangan tersedia pada seperangkat wayang yang disediakan. Semua ini tentunya yang pasti tergantung selera Ki Dalang, yang hal ini belum tentu sama dengan selera pribadi seseorang.

Gunungan sebagai tanda pakeliran selesai/penutup atau sering disebut tancep kayon. Setelah adegan tayungan atau beksan atau jogetan yang dilakukan oleh Raden Werkodara/Anoman/Batara Bayu kemudian jejer terakhir selesai, pakeliran kemudian ditutup oleh Ki Dalang dengan menancapkan Gunungan di tengah-tengah kelir atau di tengah-tengah adegan tersebut dengan iringan gending ayak.

Demikian beberapa kegunaan, pengertian dan jenis dari Gunungan, adapun kegunaan, pengertian dan jenis yang lainnya mungkin masih ada. Dengan demikian dalam kelompok wayang simpingan kanan Gunungan Gapuran tentunya tidak perlu disorot ulang.